Suara.com - Korban Pemerkosaan Enggan Melapor, Dokter Jiwa Ungkap Alasannya
Reynhard Sinaga disebut sebagai pemerkosa berantai terburuk di dunia, setelah pengadilan memutuskannya bersalah atas 48 kasus perkosaan di Manchester, Inggris.
Sejatinya, pihak penyidik dan kepolisian menyebut korban Reynhard Sinaga bisa jadi lebih banyak, hingga 190 orang. Namun, hanya 48 orang tersebut yang mau mengaku dan bersaksi di pengadilan terkait kasus ini.
Berkaca dari kasus Reynhard Sinaga, ada ratusan korban perkosaan yang enggan melapor kejahatan yang dialaminya ke pihak berwenang. Bisa jadi pula, korban tidak menceritakan pengalaman tersebut kepada orang lain, bahkan keluarga dan sahabat terdekat.
Baca Juga: CEK FAKTA: Reynhard Sinaga Dipulangkan Indonesia, Benarkah?
Spesialis kejiwaan dr. Gina Anindyajati, SpKJ mengatakan menjadi korban kekerasan seksual termasuk pemerkosaan memang selalu berada dalam posisi sulit. Di Indonesia misalnya yang masih kental dengan adat ketimuran, membuka diri sebagai korban artinya membuka aib.
"Contoh yang paling sering kami dapatkan misalnya ketika ada kasus kekerasan seksual pada anak, anak ini dibawa oleh orang tuanya, kemudian diketahui pelakunya adalah adik dari ibunya, dilema itu ngelewatinnya gimana, dateng ke rumah sakit aja udah alhamdulillah," ujar dr. Gina dalam seminar awam dan media di FKUI, Salemba, Jakarta Pusat, Jumat, (10/1/2020).
Korban berani berkonsultasi ke pakar sudah jadi kemajuan, tapi belum tentu korban akan menindaklanjutinya secara hukum. Inilah mengapa dokter juga kerap dilanda dilema, karena sadar betul kekerasan seksual seharusnya memang dilaporkan.
"Tapi kalau dari keluarga memutuskan, 'kami tidak akan melapor', karena kalau kita lihat pelakunya itu baik di ranah publik maupun ranah privat itu orang yang dikenal," tuturnya.
Seperti istri mengalami kekerasan oleh suami misalnya, pandangan agama itu juga disebutkan sebagai aib, di mana kita tidak boleh membuka aib suami. Alhasil, lagi-lagi sulit keluar dari 'lingkaran setan' ini.
Baca Juga: BNN Sebut GHB yang Dipakai Reynhard Sinaga Sebagai Narkotika Jenis Baru
"Orang yang bisa datang sampai ke pusat krisis terpadu (PKT), kami itu kami anggap luar biasa berani, alhamdulillah bisa nyampe. Tapi berapa banyak dari PKT kemudian melanjutkan pendampingan ke Polri penanggulangan pasca stres trauma, nggak sampai 10 persen," imbuhnya.
Enggan melapor ini karena sistem penanganan korban kekerasan seksual belum seutuhnya berpihak pada korban. Tak jarang, karena melapor juga membuat ingatan korban kembali pada kejadian yang sebenernya tidak ingin dia ingat. Apalagi jika di kepolisian kerap kali, kronologi selalu ditanyakan berulang-ulang, dan hal ini menyakiti psikis korban terus menerus.
"Belum ditanya penyidik satu, besok ke penyidik yang lain lagi, seminggu berturut-turut kaya gitu, dengan pertanyaan yang sama. Jadi trauma ini bukan cuma soal kekerasan seksual yang terjadi, tapi sistem juga membuat retraumatisasi itu terjadi," ungkap dr. Gina menggebu-gebu.
Kembalinya kenangan buruk yang membuat trauma memang sakitnya tidak terlihat secara fisik, tapi sangat membekas pada pikiran. Alhasil, stres karena trauma membuat kehidupan sehari-hari terganggu dan menjadi 'manusia disabilitas'.
"Seseorang dia nggak bisa kerja, ada disabilitas dalam pekerjaan, dia tidak bisa menjalin relasi yang baik dengan orang lain. Tidak bisa memiliki hubungan yang harmonis dengan keluarganya, ini kan satu bentuk disabilitas satu bentuk kecacatan," imbuhnya.
"Manusia itu punya fungsi sosial, ketika fungsu sosialnya cacat ya cacatlah dia sebagai manusia," tutupnya.