Siapa yang Bisa Mendapat Pengobatan Imunoterapi?
Pengobatan dengan imunoterapi saat ini telah memberi harapan bagi lebih banyak pasien kanker. Untuk pemeriksaan dan pengobatan imunoterapi kanker di Indonesia sendiri, saat ini sudah tersedia untuk pasien kanker paru jenis bukan sel kecil (NSCLC) stadium lanjut, kanker kandung kemih stadium lanjut, dan kanker melanoma.
Lebih lanjut menurut dr. Ikhwan, dari berbagai studi imunoterapi kanker pada kanker paru NSCLC, disebutkan bahwa pengobatan imunoterapi membantu memperpanjang ketahanan hidup pasien kanker paru NSCLC hingga 30 bulan, dari yang sebelumnya hanya maksimal 16,7 bulan.
Meski memberi harapan cerah, dr, Ikhwan mengingatkan bahwa bukan berarti pengobatan ini 100 persen akan berhasil pada pasien kanker.
Baca Juga: 3 Kesalahpahaman Umum Tentang Pengobatan Kanker di Masyarakat
"Saat ini, pada kanker paru, imunoterapi bisa digunakan sebagai first line, yaitu pengobatan yang pertama kali diberikan. Teorinya, ketika sebuah obat sudah dipilihkan menjadi nomor satu, hasilnya lebih baik daripada nomor yang lain. Itu prinsipnya. Tapi sebaik apa? Tentu tidak semua pasien begitu dikasih obat langsung berhasil sembuh, atau hasilnya bagus," kata dr. Ikhwan.
Dijelaskan lebih lanjut oleh dr. Ikhwan, pada kasus kanker paru, dokter akan mengambil jaringannya, kemudian ditentukan jenisnya apa, adenokarsinoma atau carcinoma cell skuamosa.
Dulu, pada standar pengobatan yang lama, pada adenokarsinoma, dokter akan periksakan 4 macam pertanda, yaitu EGFR (Epidermal Growth Factor Receptor), ALK (Anaplastic Lymphoma Kinase), dan ROS1. Belakangan, setelah muncul imunoterapi, ada lagi pemeriksaan PD-L1.
"Nah, dari empat itu, nanti dilihat mana yang positif. Pemeriksaan itu tidak bisa semua positif. Kalau satu positif, yang lain pasti negatif. Selama ini, paling banyak pemeriksaan EGFR yang positif, makanya kita banyak pakai yang EGFR dulu," paparnya.
Lebih lanjut menurut dr. Ikhwan, jika pemeriksaan PD-L1 positif berapa persen, dan yang lain negatif, pasien boleh ke imunoterapi. "Kalau tidak mempan, masuk ke kemoterapi, atau bisa juga kombinasi. Tapi kalau EGFR yang positif dan yang lain negatif, kita tidak pakai imunoterapi, tapi pakai pengobatan yang lain," katanya menjelaskan soal standar pemeriksaan kanker untuk menentukan obat yang cocok.
"Tapi, itu kan standarnya, ya. Mana yang positif, itu yang diduluin. Dan semua pemeriksaan ini seharusnya dilakukan bersamaan. Tapi di Indonesia, kita masih belum punya pemeriksaan ini semua. Paling EGFR saja. Kendala lain, kanker paru itu susah dibiopsi, jadi kita cuma bisa ambil sampel sedikit. Jadi, tidak memungkinkan kalau sampel yang sedikit itu dipakai untuk periksa semua. Jadi kita harus pakai untuk pemeriksaan yang paling memungkinkan dulu pengobatannya. Nah, yang dicover Askes dan BPJS baru EGFR, makanya didahulukanlah yang ini," jelasnya.
Perjalanan imunoterapi sebagai obat kanker baru bukanlah jalan yang singkat. Imunoterapi itu pertama kali dicobakan pada kanker melanoma malignum, kanker tahi lalat. Baru dicobakan ke kanker paru.
Secara teori dan teknologi, imunoterapi memang secercah harapan bagi para penderita kanker yang menanti kesembuhan. Tetapi seperti dikatakan dr. Ikhwan, tubuh manusia itu unik, begitu pula dengan sel kanker. Apa yang terjadi di dalam tubuh kita tidak ada yang tahu persis. Jadi, hampir tidak akan ada keberhasilan 100 persen.
Baca Juga: Imunoterapi, Pengobatan yang Sembuhkan Kanker Jimmy Carter