Suara.com - Melawan Monster Rubella, Mereka Butuh Dukungan Bukan Bualan
“Mmmmam mmamm mammm…” IF ingin banyak mengoceh, seperti balita yang sedang aktif-aktifnya saat berusia 3 tahun, IF pun ingin banyak tahunya, maunya.
Ia pun tampak tertawa sumringah jika sang ibu dan ayahnya sudah mengajak bermain, ia bahkan suka difoto dan tersenyum jika sang ibu menyuruh berpose untuk difoto. Balita mungil ini adalah pasien anak rubella asal Medan, Sumatera Utara, yang kini memiliki keterbatasan melihat, mendengar hingga masalah jantung dan kesulitan berdiri sejak ia didiagnosa terjangkit virus rubella sejak lahir.
“Virus tersebut menghancurkan segalanya, datang bak monster merusak satu-persatu panca indra anakku hingga organ tubuhnya. Ia hanya bisa bergumam untuk meminta sesuatu. Membayangkan bagaimana sakitnya, saya pun rasanya ikut meringis kesakitan,” kata Kusuma Ramadan, ayah pasien Rubella asal Medan, Sumatera Utara.
Baca Juga: Pekan Imunisasi Dunia 2019, Jauhkan Hoaks Vaksin dari Keluarga
Kusuma menuturkan, tumbuh kembang IF tidak seperti anak kebanyakan. IF harus mengikuti banyak terapi dan pengobatan hingga rentetan pemeriksaan. “Demi anak saya harus berhenti bekerja, fokus mengurus dan menjaganya. Saya hanya bisa mengambil kerja freelance. Begitu pula ibunya,” tutur Kusuma.
Bahkan orang tua IF, sebelumnya mendapat harapan palsu dari sejumlah tokoh pemerintah di masa kampanye pemilihan gubernur pada 2017. Evi Diana Sitorus, mantan anggota DPRD Sumut yang juga istri mantan Gubernur Sumut, Tengku Erry dan Mantan Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Sumatera Utara, Agustama pernah berjanji membantu menolong IF di depan wartawan saat kunjungannya di masa kampanye saat itu. Namun, hingga kini janji tersebut tak pernah terealisasi.
Saat dikonfirmasi wartawan pada masa itu, Agustama berdalih alat bantu dengar difasilitasi BPJS Kesehatan. Sementara itu Evi Diana Sitorus tidak memberikan komentar apapun.
“Ya kebetulan menteri kesehatan mau datang saat itu (2017), jelang pemilihan Gubernur Sumut juga. Jadi Kadis Kesehatan datang dengan buk Evi Diana Sitorus jenguk anak saya dan bilang mau berikan alat bantu dengar berapapun harganya,” katanya.
Hal tersebut pun tentu menjadi titik terang bagi keluarga kecilnya. “Saat itu kami bahagia bukan kepalang, si kecil kemungkinan bisa mendengar. Ya tapi begitulah… ketika ditagih ada saja alasan. Jujur, sekarang kami berpijak di kaki kami sendiri untuk mengusahakan segalanya,” jelasnya.
Baca Juga: Imunisasi MR Sukses Turunkan Kasus Campak Rubella di Pulau Jawa
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Sumut, Prof Munar Lubis, SPA (K) menuturkan, penyakit campak dan rubella masih banyak ditemui di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan yang menjadi RS rujukan di Sumatera Utara. Ironisnya, masih ada beberapa daerah yang tidak melakukan imunisasi atau vaksin MR.
Padahal rubella ini menjadi penyakit yang cukup membahayakan, karena dapat menyebabkan radang paru (pneumonia), radang otak (ensefalitis), kebutaan, diare dan gizi buruk, kelainan jantung, kelainan mata, tuli, keterlambatan perkembangan dan kerusakan jaringan otak pada bayi.
Menurutnya salah besar jika ada oknum yang memanfaatkan anak pasien penyakit tersebut untuk popularitas. “Secara moral tidak layak, apalagi untuk politik atau popularitas. Ya, ada tempatnya kalau mau cari panggung tapi bukan angkat soal pasien anak rubella, karena masalah penyakit anak ini cukup sensitif, bukan hanya untuk si anak tapi juga untuk keluarga,” katanya.
Ia pun menuturkan penyakit rubella pada bayi belum ada penyembuhnya, hanya bersifat suportif, terapi sesuai gejala, konsultasi apa yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi dan penanganannya di setiap anak berbeda-beda. Tiap anak berbeda tergantung usia dan seberapa parah gangguan gizi buruk dan kerusakan organ tubuh lainnya. Kemudian mengikuti beberapa tes rutin seperti Brain Evoked Response Auditory (BERA) atau pemeriksaan pendengaran yang dilakukan pada anak umur 1-3 tahun, pemasangan alat bantu dengar, memperbaiki virus dan koreksi katarak pada mata hingga pemeriksaan Penyakit Jantung Bawaan (PJB) serta pemberian nutrisi yang tepat.
“Ya jadi cukup kompleks dan tidak bisa main-main memberikan harapan palsu, itu penyakit yang cukup mahal pengobatan, operasi dan terapinya,” katanya.
Biaya implan koklea hingga harga alat bantu dengar untuk pasien anak rubella mencapai Rp 100 juta hingga Rp 300 juta untuk kualitas terbaiknya, belum termasuk biaya operasi. Selain itu, masih ada biaya lain-lain seperti baterai, yang harganya Rp 900 ribu dan habis seminggu sekali. Bahkan ada yang mencapai Rp 600 juta untuk total biaya alat tersebut. Ini semua belum termasuk biaya operasi Rp 50 juta. Sedangkan alat bantu dengar yang difasilitasi BPJS hanyalah alat standar yang harganya berkisar 1 jutaan.
Sementara itu, Humas BPJS Kesehatan Pusat, Iqbal Anas Ma’ruf, menuturkan pihaknya menfasilitasi perobatan dan fisioterapi hingga alat bantu dengar untuk pasien anak rubella serta operasi katarak pada mata pasien anak rubella.
“Ya mungkin banyak simpang siur di luar sana, bilang BPJS tidak menanggung penanganan khusus untuk penyakit rubella, tapi untuk perawatan yang masih sesuai prosedural dan operasi kataraknya hingga alat bantu dengar sesuai standar BPJS Kesehatan, ya masih difasilitasi. Jadi kami harapkan orang tua pasien anak rubella memanfaatkan hal tersebut dengan berkonsultiasi terlebih dahulu pada dokter BPJS yang menangani anaknya,” jelasnya.