Suara.com - Kaleidoskop Kesehatan 2019: Jejak Terapi Cuci Otak Menkes Terawan
Mayjen Dr dr Terawan Agus Putranto, SpRad(K), resmi menggantikan Prof Dr dr Nila Moeloek, SpM(K) sebagai Menteri Kesehatan periode 2019-2024 di Kabinet Indonesia Maju. Pemilihan Terawan sempat menuai perdebatan karena ia sempat berseteru dengan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI).
Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia (MKEK IDI) sempat memberikan sanksi pemecatan kepada dr Terawan, karena dianggap melanggar kode etik. Hal ini lantaran medote cuci otak yang dilakukan dr Terawan dianggap belum melalui penelitian ilmiah, namun sudah dilakukan kepada pasien.
Saat itu yang menjadi perdebatan lantaran metode cuci otak dr. Terawan masih dalam tahap uji coba namun sudah dipraktikkan pada pasien dan dikenakan biaya. Apalagi jika metode ini tidak dijelaskan sejelas-jelasnya pada pasien tentang metode uji coba ini.
Baca Juga: Defisit BPJS, Menkes Terawan Singgung Operasi Caesar Tanpa Alasan Medis
IDI saat itu melalui dr. Daeng M Faqih mengatakan metode dokter terawan seumpama pil plasebo atau pil palsu yang cara kerjanya memanfaatkan psikologi pasien bahwa ia mengonsumsi obat yang berefek menyembuhkan, padahal pil tidak punya khasiat apapun dan hanya sembuh secara psikologis.
Saat itu IDI memberikan sanksi pemecatan selama 12 bulan per tanggal 26 Februari 2018 hingga 25 Februari 2019, kemudian IDI mencabut izin praktik dr. Terawan. Pemecatan ini akhirnya ditunda setelah adanya mediasi antara IDI, Kemenristekdikti, hingga Kemenkes bersama dr Terawan.
Perdebatan ini kembali mencuat tatkala IDI mengirimkan surat rekomendasi kepada Presiden Jokowi untuk tidak memilih Terawan sebagai Menkes.
Surat bertanggal 30 September 2019 tersebut ditujukan untuk Presiden Joko Widodo, dan ditandatangani oleh Ketua MKEK Dr Broto Wasisto, DTM&H, MPH.
Dalam surat tersebut, MKEK menyarankan Presiden Jokowi untuk tidak mengangkat dr Terawan sebagai Menteri Kesehatan, karena sedang dikenakan sanksi akibat melakukan pelanggaran etik kedokteran.
Baca Juga: Promosi Wisata Kebugaran, Menkes Terawan: Kerokan dan Pijat Mak Erot
Sanksi tersebut tertera dalam Keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran PB I Dl No.009320/PB/MKEK-Keputusan/07J201 I tanggal 12 Februari 2018.
Saat dikonfirmasi, dr Daeng mengaku menghormati keputusan presiden terkait pengangkatan dr Terawan sebagai Menteri Kesehatan.
"Kami sangat menghormati dan sangat menghargai keputusan Presiden. Kita menghormati, nggak masalah," kata Daeng M Faqih saat ditemui media di kantor PB IDI, Jakarta Pusat, Kamis (24/10).
Sepekan setelah diangkat sebagai Menkes, dr Terawan akhirnya mengadakan pertemuan tertutup dengan PB IDI. Pertemuan antara Menkes Terawan dengan Pengurus IDI merupakan bagian dari silaturahmi antara pejabat negara dengan serikat tenaga kesehatan.
Menariknya, selama kurang lebih tujuh menit konferensi pers, Menkes Terawan dan Dr. Daeng terus bergandengan tangan memperlihatkan keharmonisan.
Disela-sela wawancara, Menkes Terawan juga sempat menanyakan apakah dirinya masih anggota IDI atau tidak kepada Dr. Daeng.
"Saya sebagai Menteri Kesehatan saja anggota IDI bagaimana... (Keanggotaan IDI) Saya belum dicabut kan ya?" tanya Menkes Terawan sembari melirik Dr. Daeng yang sontak memecahkan tawa.
Stunting dan Defisit BPJS Kesehatan Jadi Isu Utama
Dalam sertijab Menkes, Terawan dititah Presiden Jokowi untuk membenahi dua masalah kesehatan utama di Indonesia saat ini, yakni stunting dan defisit BPJS Kesehatan.
"Izinkan saya menyampaikan arahan dari Bapak Presiden, terkait tugas sebagai Menteri Kesehatan. Ada dua isu utama, yakni masalah stunting dan masalah JKN," ujar Terawan, dalam acara pisah sambut Menteri Kesehatan di Kementerian Kesehatan, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, Kamis (24/10/2019).
Sebagaimana diketahui, program JKN yang dikelola oleh BPJS Kesehatan masih mengalami defisit hingga tahun ini. Diprediksi, defisit BPJS Kesehatan tahun ini bisa mencapi lebih dari Rp 32 triliun.
Hal ini membutuhkan perhatian serius, mengingat keberlangsungan JKN yang masih dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia.
Di sisi lain, data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan, prevalensi balita stunting di tahun 2018 mencapai 30,8 persen, yang berarti 1 dari 3 balita di Indonesia mengalami stunting.
Terlebih, Indonesia juga merupakan negara dengan beban anak stunting tertinggi ke-2 di Kawasan Asia Tenggara dan ke-5 di dunia.
"Kita sama-sama mencari solusi untuk menghadapi masalah tekornya BPJS ini dalam memfasilitasi masyarakat yang sakit," tutupnya.