Suara.com - Kaleidoskop Kesehatan 2019: Regulasi Vape dan Risiko Penyakit Paru
Kaleidoskop Kesehatan 2019 membahas peristiwa, temuan, hingga pembahasan seputar seluk-beluk masalah kesehatan di tahun 2019.
Salah satu yang sempat ramai dibahas adalah fenomena vape alias rokok elektrik yang kembali jadi perbincangan hangat di pertengahan tahun. Sebabnya, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) di Amerika Serikat melakukan investigasi terkait kasus penyakit paru-paru yang terjadi pada pengguna vape dan rokok elektrik. Temuan terbaru mengatakan tidak ada satu merek yang bertanggung jawab penuh terhadap masalah ini.
Berdasarkan data CDC per 10 Desember 2019, ada 2.409 kasus penyakit paru-paru karena penggunaan vape dan rokok elektrik, dengan korban meninggal terkonfirmasi sebanyak 52 orang. Penggunaan THC ilegal serta vitamin E asetat pada liquid menjadi penyebab utama masalah ini.
Baca Juga: Kaleidoskop Kesehatan 2019: Perjuangan Ani Yudhoyono Melawan Kanker Darah
Kabar ini juga memantik keresahan para pengguna vape di Indonesia. Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) pun angkat bicara mengenai isu ini, yang menurutnya terjadi karena konsumsi liquid ilegal yang tidak standar.
"Pemberitaan itu kami konfirmasikan kepada Asosiasi Vape di seluruh dunia. Dan kami sekali lagi mendapatkan penjelasan bahwa kasus itu terjadi di Amerika dan benar adanya tetapi bukan karena liquid vape yang normal/legal/yang biasa digunakan oleh umumnya pengguna vape atau vapers," kata Ketua APVI Aryo Andrianto dalam keterangannya, Selasa (17/9).
Kasus pesakitan dan meninggal akibat rokok elektrik ini juga ditanggapi oleh Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K). Menurutnya, apa yang terjadi di Amerika saat ini merupakan sebuah epidemi, yang sebelumnya juga sempat terjadi di beberapa negara lain.
Kerusakan ini terjadi secara cepat dan hebat, sehingga selain sesak napas, pasien juga bisa terancam nyawanya karena tidak bisa bernapas. Lalu, apakah sudah ada kasus serupa yang terjadi di Indonesia?
Menurut dr Agus berdasarkan laporan resmi Dinas Kesehatan maupun Kementerian Kesehatan, hingga saat ini belum ada kasus gangguan fungsi pernapasan karena penggunaan rokok elektrik. Hal ini dikarenakan belum ada mekanisme pelaporan kasus gangguan paru-paru yang secara khusus disebabkan oleh rokok elektrik di fasilitas kesehatan, baik itu klinik, puskesmas, maupun rumah sakit.
Baca Juga: Kaleidoskop Kesehatan 2019: Akreditasi RS dan Putus Kontrak BPJS Kesehatan
"Tapi berdasarkan pengalaman rekan-rekan sejawat dokter paru, ada pasien yang paru-parunya kolaps dan bocor setelah beberapa bulan gunakan vape," tuturnya.
Pro-kontra Regulasi Vape
Dukungan pembuatan peraturan soal rokok elektrik juga datang dari Ketua Komisi IX DPR-RI, Dede Yusuf. Ia mengimbau agar pemerintah segera berembuk membuat peringatan mengenai peredaran rokok elektrik di masyarakat.
"Menurut saya pemerintah harus mulai mengawasi rokok elektrik karena yang pakai rokok elektrik anak-anak pun sudah pakai, perempuan juga menggunakan rokok elektrik karena ada wanginya. Rokok elektrik bagaimana pun juga adalah sesuatu yang dibakar. Ketika sesuatu yang dibakar ada karbonnya di situ, pasti juga akan menghasilkan efek (negatif) pada akhirnya," kata Dede Yusuf.
Ingin tahu kaleidoskop kesehatan tentang vape? Simak di halaman selanjutnya ya!
Di Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan telah mengenakan cukai sebesar 57 persen para produk rokok elektrik sejak 1 Juli 2018 lalu. Pengenaan cukai membuat produsen rokok elektrik percaya diri menjual produknya secara terang-terangan. Kementerian dan lembaga pemerintah jadi terkesan main lempar tangan. Sementara produk rokok elektrik masih bebas diperjualbelikan tanpa pengawasan.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K. Lukito mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah memberikan izin kepada perusahaan rokok elektrik untuk menjual produknya di Indonesia. Meski demikian, ia mengakui bahwa BPOM tidak memiliki wewenang pengawasan produk tersebut.
"Kalau dilihat dari aspek izin edar, (rokok elektrik) ilegal. Tapi kami belum bisa melakukan pengawasan karena belum ada payung hukumnya," kata Penny saat ditemui media di Gedung Serbaguna Kemkominfo, Senin, (16/9/2019).
Sementara Kementerian Kesehatan melalui Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr. Anung Sugihantono, M.Kes mengatakan bahwa peraturan rokok elektrik masih dalam tahap pembahasan. Anung mengaku Kemenkes tengah mendorong untuk mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, untuk memasukkan rokok elektrik ke dalamnya.
"Definisi umum pada pasal 1 tentang pengertian rokok tentang tembakau akan dijelaskan sejalan dengan perkembangan teknologi. Karena masih ada yang mengatakan kalau vape (rokok elektrik) ini bukan rokok hanya uap saja berbeda dengan tembakau dan produk turunannya, meski di dalam vape ada nikotin," kata Anung.
Ketua Asosiasi Vapers Indonesia (AVI) Dimasz Jeremia menyatakan, pelarangan rokok elektrik atau Vape bukan solusi untuk mengatasi masalah yang ada.
Karena menurutnya, rokok elektrik vape hanyalah alat yang digunakan untuk membantu perokok berhenti.
"Dengan vape dilarang, bukan berarti vapers tidak akan balik ke rokok. Tapi nanti masalahnya adalah sama lagi, nanti ngerokok tapi tidak bisa berhenti dari dampak negatif merokok," kata Dimasz, Rabu (27/11).