Suara.com - Jurnalis ternyata rawan kena gangguan jiwa. Sebab beban kerja jurnalis yang berat.
Hal itu diungkap Psikolog Sustriana Saragih. Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen menghadirkan Sustriana Saragih untuk membahas "Manajemen Kesehatan Mental Jurnalis" di Cundlestick Coffee, Rawamangun, Jakarta pada Sabtu (30/11/2019) akhir pekan lalu.
Hasil asesmen yang dilakukan Sustriana terhadap jurnalis televisi, online dan radio yang hadir dalam diskusi santai tersebut terlihat masalah kesehatan mental jurnalis yang muncul yaitu stres, kecemasan dan depresi.
"Sesuai dengan hasil asesmen yang kita lakukan, itu paling besar stres, kecemasan dan depresi. Tapi kalau kita lihat secara global jurnalis lainnya juga mengalami gangguan yang sama," tutur Sustriana.
Baca Juga: Sering Tidur Berlebihan Bisa Jadi Tanda Anda Punya Gangguan Jiwa, Kok Bisa?
Sustriana menyarankan jurnalis yang mengalami stres, kecemasan dan depresi, serta mulai merasa terganggu produktifitas di tempat kerjanya untuk menemui psikolog. Beberapa gejala dari persoala tersebut semisal sulit konsentrasi, sulit memenuhi tenggat waktu dan sering marah-marah.
"Sulit obyektif menilai suatu berita, sulit berempati terhadap berita yang diliput. Dan pada saat mengganggu di keluarga, sering marah-marah, sering mengabaikan hak anak istri, ketika saat individu jurnalis merasa dirinya tidak produktif lagi," tambahnya.
Menurut Sustriana, perusahaan juga dapat melakukan sejumlah hal untuk menjaga kesehatan mental jurnalis dan pekerja. Antara lain dengan menyediakan asuransi kesehatan jiwa atau menyediakan layanan psikolog bagi pekerja media. Kata dia, produktivitas jurnalis dan pekerja media akan semakin meningkat jika kesehatan jiwa mereka terjaga dengan baik.
"Kemudian perusahaan bisa merancang aktifitas atau program yang bisa meningkatkan kesehatan mental jurnalisnya. Bisa outbond atau gatering, tapi di dalamnya tidak mendiskusikan pekerjaan, tapi murni membantu para karyawan atau jurnalis mengenali diri, mengekspresikan emosi, stres manajemen untuk kesehatan mental," jelas Sustri.
Menurutnya kegiatan-kegiatan perusahaan yang positif tersebut dapat dilakukan setiap 3 atau 6 bulan sekali. Ia juga berharap Undang-undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa yang sudah baik tersebut dapat diimplementasikan di tempat kerja.
Baca Juga: Bukan Dipasung, Ini Cara Terbaik Dukung Pasien Gangguan Jiwa
"Sebenarnya saya berharap Undang-undang itu tidak hanya bagus di atas kertas tapi bisa diimplementasikan dalam bentuk program kegiatan di tempat kerja."
Sementara itu, Ketua FSPMI-Independen, Sasmito Madrim mendorong para jurnalis dan pekerja media untuk berserikat. Menurutnya, hanya ada beberapa media saja yang sudah memperhatikan kesehatan jiwa jurnalis.
"Dengan adanya serikat, jurnalis dan pekerja media dapat mendorong masalah kesehatan jiwa atau mental diatur melalui Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Semisal dengan mencantumkan pasal tentang tanggung jawab perusahaan menyediakan layanan psikolog bagi pekerja mereka," tutur Sasmito.
Sasmito juga mengingatkan para jurnalis untuk mencintai diri mereka sendiri dengan tidak bekerja secara berlebihan. Atau mulai dengan menerapkan 8 jam kerja, 8 jam istirahat dan 8 jam rekreasi.
"Jangan setelah waktu bekerja selesai. Para jurnalis pulang, tapi dengan membawa pekerjaan mereka ke rumah, tetap memantau isu-isu. Ini sama saja pekerjaan jurnalis tetap berlanjut meskipun secara teknis jam kerjanya telah selesai."