Suara.com - Hari AIDS Sedunia, Wajah Gelap Penanggulangan HIV di Indonesia
Peringatan Hari AIDS Sedunia yang jatuh pada hari ini, Minggu (1/12/2019), menjadi momen tepat untuk mengetahui kondisi HIV-AIDS di Indonesia.
Organisasi berbasis komunitas Indonesia AIDS Coalition (IAC) menyebut Indonesia masuk dalam kategori darurat AIDS. Ini karena keadaan di lapangan yang tidak jauh lebih baik, meski sudah lebih banyak kasus AIDS yang terungkap.
"Secara kasus jauh lebih banyak yang ditemukan, hanya situasinya tidak jauh lebih baik. Kita bisa bilang saat ini Indonesia darurat AIDS," ujar Aditya Wardhana, Direktur Eksekutif IAC saat dihubungi Suara.com baru-baru ini.
Baca Juga: Masih Ada Diskriminasi, Ini Beban Kompleks Wanita Pengidap HIV di Indonesia
Kategori darurat ini diberikan mengingat di Indonesia masih ditemukan kekosongan obat antiretroviral (ARV). Para penderita atau ODHA harus meminumnya setiap hari, agar virus tidak semakin menyebar dan menyebabkan kematian.
"Angka kematian AIDS tinggi sekali, lalu juga angka lost to folow up yang juga tinggi. Cakupan pengobatan masih rendah, itulah makanya kenapa kita bilang saat ini kita itu bener-bener emergensi," ungkap Aditya.
Terkhusus ARV buat penderita anak yang sering kosong, Kemenkes RI selalu beralasan bahwa kendala impor atau pabrik obat yang mau memproduksi dalam jumlah kecil. Sedangkan jumlah penderita anak masih sangat jarang ditemukan.
Menyoroti ini Aditya menyebut pemerintah hanya mencari alasan dan tidak pernah serius, karena jawaban yang selalu standar.
"ODHA anak itu udah 6000-an. Itu alasan (dari pemerintah) dari 10 tahun lalu, pemerintah kurang serius, kalau serius pasti kita sudah seperti negara maju lain, yang mulai bisa mengendalikan epidemi," tutur Aditya.
Baca Juga: Beberapa Mitos HIV yang Masih Dipercaya, Salah Satunya soal Transfusi Darah
ODHA dan Permasalahan Sosial
Belum lagi masalah stigma dan diskriminasi yang masih kental di tengah masyarakat, yang selalu melihat penyakit ini dari sisi etika dan sosial.
Padahal sebagian ODHA tidak sadar mereka tertular, bukan karena pergaulan tapi karena tertular dari suami, sehingga ibu rumah tangga dan anaknya yang lahir ikut terjangkit.
Nining Ivana dari Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) bahwa hingga kini stigma negatif masih terjadi bahkan bukan oleh masyarakat umum saja, melainkan para pelaku medis.
Saat melayani di rumah sakit, ODHA sering kali diperlakukan tidak mengenakkan, karena takut tertular. Padahal mereka harusnya sudah tahu faktor apa saja yang bisa membuat virus itu menular.
"Contoh temen saya baru kemaren anggota IPPI juga, barus selesai melahirkan, masuk ruang operasi dan rawat inap, susternya yang magang, pegang kaki dia dengan kondisi diselimutin, terus suster yang jaga intens, tegor 'jangan dipegang dia pasien B20' itu artinya pasien HIV. Kenapa emangnya padahal sudah ditutup dengan selimut, nular darimananya," ujar Nining kepada Suara.com.
Ingin tahu lebih lanjut tentang masalah penanganan AIDS di Indonesia? Simak di halaman berikutnya ya!
Meski begitu, Nining juga akui pelayanan kesehatan kini sudah lebih baik dari sebelumnya pada 2004 lalu ia didiagnosis positif HIV.
Namun masih saja ada oknum tenaga kesehatan yang melakukan perilaku diskriminatif, yang akhirnya membuat para ODHA tidak nyaman dan mengintimidasi secara psikologis, hingga ogah mendatangi kembali rumah sakit itu.
"Terus contohnya pelayanan kesehatan, yang sebetulnya kebutuhannya bukan untuk pengobatan, tapi lebih membuat orang maksudnya apa, kenapa nanya lagi. Jadi ada beberapa temen-temen nggak mau dateng ke rumah sakit itu sebenernya bukan rumah sakitnya, petugas yang buat trauma, tetap yang dilihat rumah sakit," ungkapnya.
Ada juga kejadian masih anggota IPPI diusir oleh warga tempatnya ia tinggal, tepatnya di Jakarta Timur, karena takut menularkan HIV/AIDS. Bahkan hingga anak ODHA yang ditolak oleh sekolah karena para orang tua murid khawatir menularkan kepada anak-anak yang lain.
Padahal kata Nining, sudah seharusnya masyarakat tahu bagaimana proses penularan HIV/AIDS itu sendiri yakni melalui cairan sperma, vagina, air asi, dan darah. HIV/AIDS juga tidak akan menular jika pertukaran air liur, kontak fisik, kontak sosial dan sebagainya.
"Tindakan kecil yang akhirnya orang dengan HIV merasa, memang begitu ya padahal kan nggak menular. Itu hal kecil yang sebenernya nggak perlu terjadi. Sedangkan kita-kita ini sudah tahu, bagaimana cara menularkan, bagaimana cara mencegahnya, kita juga nggak ada mau nularin orang," terangnya.
Kekosongan obat ARV, apa solusinya?
Dibandingkan dengan India yang angka ODHA-nya 4 kali lipat lebih tinggi tapi pemerintahnya sudah bisa membuat obat sendiri, Indonesia masih ketinggalan. Rasanya tidak mungkin menunggu jumlah ODHA untuk sebesar itu, baru Indonesia mau bertindak.
Aditya menyoroti pemerintah yang bergantung pada perusahaan farmasi dalam negeri dalam hal ini Indo Farma dan Kimia Farma yang tidak benar-benar serius untuk membuat obat bagi ODHA.
"Karena Indonesia itu terlalu menggantungkan pada beberapa farmasi, ini bukan hanya motif sosial tapi juga motif mencari keuntungan. Tender juga masih gagal," imbuhnya.
Hal yang cukup mengkhawatirkan, jika keadaan ini didiamkan terus menerus angka epidemi HIV/AIDS akan semakin luas. ODHA tidak dapat obat, sehingga penularan semakin tinggi.
Dari catatan IAC dari 2018 hingga 2019 penularan baru meningkat dari 48.000 menjadi 49.000 ODHA.
"Harapannya mumpung punya Menkes yang baru, ayo lakukan evaluasi secara menyeluruh, baik dari kebijakan kerangkanya, maupun pendanaannya. Apakah sudah memadai untuk mengendalikan epidemi? mana yang harus dibuat ya dibuat, mana yang harus dihilangkan ya dihilangkan. Tantangan-tatangannya," tutup Aditya.