Suara.com - Riset Keragaman Hayati Dalam Negeri Bisa Tekan Impor Bahan Baku Obat
Impor bahan baku obat memiliki dampak ekonomi terhadap hilangnya devisa negara. Pada tahun 2012, Kementerian Perindustrian memperkirakan nilai impor bahan baku obat mencapai Rp 11,4 triliun, naik sebesar 8,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Tingginya ketergantungan impor bahan baku obat terjadi akibat minimnya industri kimia dasar di Indonesia.
"Ketergantungan terhadap bahan baku obat impor itu dapat dikurangi melalui riset farmatologi. Riset ini menggunakan tanaman dan hewan sebagai obat, dengan memanfaatkan keragaman hayati yang menjadi warisan nenek moyang kita," kata Executive Director Dexa Laboratories Biomolecular Sciences (DLBS) PT Dexa Medica, Dr Raymond Tjandrawinata dalam siaran pers yang diterima Suara.com.
Baca Juga: Jadi Surga Keanekaragaman Hayati, Ini 3 Tanaman Obat di Kalimantan Timur
Salah satu riset yang telah dilakukan DLBS adalah penemuan obat diabetes yang memanfaatkan keragaman hayati Indonesia lewat tanaman Lagerstroemia speciosa (bungur) dan Cinnamomum burmannii (kayu manis) yang berfungsi menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi ketergantungan bahan baku Metformin.
Penelitian terhadap dua bahan alam asli Indonesia yang dikenal dengan nama DLBS 3233 telah dilakukan sejak tahun 2005 oleh ilmuwan Indonesia di DLBS.
Untuk memastikan khasiatnya, Dr Raymond melakukan penelitian multicenter, yakni penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh para dokter ahli, di dua pusat wilayah yakni area pertama di area Jakarta dan Bandung sedangkan area kedua adalah Surabaya dan Indonesia Timur.
Fokus penelitian multicenter ini adalah terapi Inlacin, Metformin, dan kombinasi Inlacin dan Metformin untuk pasien SOPK, kelainan endokrin dan metabolik pada perempuan usia reproduksi yang mengalami resistensi insulin.
"Pada penelitian ini, kami ingin membandingkannya dengan Metformin sebagai obat standar yang diresepkan bagi pasien SOPK dengan resistensi insulin. Tujuannya adalah bagaimana keamanan Inlacin untuk terapi pasien SOPK resistensi insulin, dibandingkan Metformin. Dan bagaimana manfaat klinik serta manfaat metabolik antara Inlacin dan Metformin," urai Prof. dr. Andon Hestiantoro, Sp.OG(K) yang memimpin penelitian di wilayah Jakarta-Bandung yakni Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RS dr. Hasan Sadikin Bandung.
Baca Juga: Komisi IX Dukung Riset Pengembangan Tanaman Obat Tradisional Bali
Penelitian dilakukan selama enam bulan dan diukur setiap bulannya pada 124 pasien SOPK yang terbagi menjadi dua dengan jumlah 62 orang pasien masing-masing diberikan Inlacin 100 mg sekali sehari dan Metformin 750 mg dua kali sehari. Adapun profil pasien memiliki kesamaan baik berupa umur maupun berat badan.