Suara.com - Anak-anak dan remaja disebut-sebut memang lebih rentan mengalami kecanduan internet atau dikenal istilah adiksi internet (AI), mengingat remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan bagian otak pengendali perilaku masih dalam proses berkembang.
Nah, mencegah perilaku AI yang semakin parah, yang bahkan bisa merusak otak anak untuk berkembang, sudah saatnya para orangtua mencari tahu seberapa jauh tingkat kecanduan internet pada anak. Masuk kategori parah atau tidak? Lalu, apa tindakkan yang bisa dilakukan?.
Sebuah inovasi dibuat dr. Kristiana Siste, Sp.KJ(K) untuk menyelesaikan gelar doktornya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI). Ia membuat aplikasi Kuesioner Diagnostik Adiksi Internet (KDAI) yang sudah bisa diakses publik di Play Store. Alat ukur dalam bentuk kuesioner ini nantinya akan menunjukkan angka ada tidaknya AI pada anak, dan seberapa jauh tingkat adiksi internet pada anak.
"Kita bisa pakai KDAI ini yang diunggah dan diunduh di Google Play Store, nanti ada keterangannya apakah dia adiksi atau tidak adiksi. Kemudian nanti ada keterangannya, apa yang harus dilakukan setelah adiksi, dan sebelum adiksi untuk pencegahannya," ujar dr. Siste di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, Selasa (19/11/2019).
Baca Juga: Tertinggi di Asia, 31 Persen Remaja di Jakarta Kecanduan Internet
Menurut dr. Siste, ketika anak tampak sudah mulai menggunakan internet atau handphone selama 4 jam sehari jika dikumulatifkan, maka itulah saatnya orangtua harus mengecek tingkat AI anak. Belum lagi jika anak menunjukkan gejala lain, seperti malas sekolah, hingga tidak ingin keluar rumah.
"Empat jam bermain gadget tanpa henti, ketika sudah ada penurunan prestasi sekolah, nggak mau keluar rumah dan memilih selalu di dalam rumah, diajak keluar rumah susah, itu sudah harus mulai dicek," paparnya.
Nanti setelah kuesioner diisi, ada hasil berupa angka. Jika angka berjumlah lebih dari 107, maka itu tanda anak mengalami adiksi atau kecanduan. Artinya, beberapa tindakan harus mulai dilakukan seperti tenaga ahli medis psikolog, hingga pengobatan dan bentuk konsumsi obat.
Seperti diketahui, aplikasi setipe ini sebenarnya sudah pernah dibuat di luar Indonesia. Tapi, tidak ada yang secara spesifik diciptakan untuk anak dan remaja Indonesia, dengan pendekatan yang dianggap bisa mewakili, seperti pendekatan dari sisi budaya, demografi, hingga perilaku masyarakat Indonesia yang tercermin dari Jakarta.
"Saya pakai 2 kuesioner yang berbeda. Yang benar yang ini (KDAI), valid ini, karena benar-benar murni untuk remaja Indonesia. Kalau yang satu lagi benar-benar remaja dari luar (negeri), jadi nggak sesuai dengan remaja Indonesia," ungkapnya.
Baca Juga: Nettox Watch, Jam Tangan Buatan Mahasiswa UI Atasi Kecanduan Internet
Adapun alasan dr. Siste membuat ini, karena fenomena adiksi internet yang mulai marak. Bahkan beberapa rumah sakit jiwa sudah banyak menerima anak dengan kategori kecanduan internet yang parah.