Banyaknya anggota masyarakat yang termakan kabar bohong atau hoaks, menurut Septiaji Eko Nugroho, menjadi indikasi berlakunya era post-truth dan the death of expertise. Hal ini lebih disebabkan rendahnya literasi masyarakat, dan dibanjirinya media informasi dengan informasi yang tidak benar sehingga informasi yang benar menjadi tertutupi.
“Saat ini dunia ada di dalam era yang disebut dengan post-truth, yaitu ketika orang lebih suka percaya terhadap hal yang disukainya. Orang yang sudah sering termakan dengan informasi antivaksin, maka dia diberi informasi apapun, sekuat apapun, dia akan cenderung akan meremehkannya.
Ditambah dengan fenomena yang disebut dengan The Death of Expertise, yang sekarang lebih banyak didengar oleh para netizen bukan lagi para profesor, bukan lagi para dokter, tapi lebih banyak para influencer, para buzzer, yang kadang-kadang mereka sebenarnya tidak punya basis ilmu yang kuat tetapi mereka lebih dipercaya, ini menjadi problem kita,” imbuhnya.
Dekan Fakultas Farmasi, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Sumi Wijaya mengatakan, hoaks di bidang obat dan makanan banyak dipercaya karena dikemas secara menarik dan bombastis. Seminar mengenai hoaks obat dan makanan ini, kata Sumi Wijaya, diharapkan dapat menjadi penyadaran bagi para mahasiswa agar tidak menjadi korban hoaks, dan justru mampu menjadi agen perubahan untuk melawan hoaks.
Baca Juga: 5 Berita Kesehatan Hits: BPOM Tarik Ranitidin, Irish Bella Alami Stillbirth
“Kalaupun hoaks itu kan masalahnya beritanya itu bombastis ya, jadi pasti sudah dipoles sedemikian rupa. Kan juga banyak sekali korbannya itu justru orang-orang yang terpelajar. Sehingga, acara ini kenapa kok dilaksanakan, diprakarsai oleh mahasiswa? Karena mahasiswa ini kan sebetulnya ujung tombak dari masa depan bangsa, jadi mereka juga harus mengenali sedari dini bahwa berita-berita yang ada di masyarakat itu seharusnya harus difilter dulu, atau disaring dulu kebenarannya,” kata Sumi.