Suara.com - Perkembangan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dari tahun 2014 hingga sekarang dinilai masih mengalami banyak kendala. Hal ini disampaikan oleh Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKK-MK) UGM Prof Laksono Trisnantoro dalam Workshop bertajuk "Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Pemerataan Kuratif", Selasa (8/9/2019).
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) FK-KMK UGM pada 2014 memproyeksikan bahwa ada kemungkinan kebijakan JKN tidak dapat mencapai tujuan sesuai dengan UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) 2014 dan UUD 1945, yaitu memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata.
Hal tersebut ternyata terbukti dengan hasil penelitian pada 2019 yang mencatat empat poin penting. Di antaranya yang pertama adalah terjadinya gotong-royong terbalik atau dana untuk masyarakat kurang mampu atau PBI APBN justru digunakan untuk membiayai masyarakat mampu dari kelompok peserta bukan penerima upah (PBPU).
Kedua, pemerataan layanan kesehatan belum maksimal, misalnya pemerataan terjadi di Pula Jawa dan Daerah Kaya, tetapi belum di daerah terbatas. Ketiga, adanya defisit dana karena tidak adanya batasan paket manfaat JKN. Keempat, kebijakan kompensasi tidak bisa diimplimentasikan pada daerah sulit karena BPJS kesulitan dana.
Baca Juga: BPJS Membengkak, Kemenkes Upayakan Cegah Penyakit Tidak Menular
Dari masalah-masalah tersebut, menurut Prof Laksono, perlu adanya perubahan kebijakan. Salah satunya soal defisit, meski kebijakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah tepat untuk menaikkan premi, tetapi ia menilai hal ini hanya cukup menutup defisit.
Sementara dana yang terkumpul tidak cukup untuk membiayai dana kompensasi karena digunakan untuk membiaya peserta PBPU. Selain itu, dana APBN juga tak cukup untuk mendanai pembangunan fasilitas kesehatan dan penyebaran SDM ke seluruh daerah.
Untuk mengatasi permasalah tersebut, PKMKFK-KMK mengusulkan beberapa perubahan kepada pemerintah. Di antaranya adalah menyusun Kebijakan Kompartemenisasi dalam Dana Amanat. Tujuan dari kebijakan ini adalah mencegah kerugian pada suatu kelompok BPJS memengaruhi bahkan merugikan kelompok lainnya, terutama masyarakat kurang mampu.
Selain itu, kompartemenenisasi tersebut harus didukung oleh program lain. Pertama adalah pembuatan kantong pengelolaan dana amanat berdasarkan kelompok peserta. Kedua, pemerintah daerah harus turut mengatasi defisit dana. Ketiga, menetapkan 'kelas standar'. Keempat, menetapkan nilai klaim maksimal bagi setiap peserta. Kelima, BPJS kesehatan perlu bekerja sama dengan asuransi kesehatan untuk memberikan layanan kepada peserta JKN yang mampu dengan mengimplementasikan Coordination of Benefit (COB).
Menurut Prof Laksono, pemda perlu dilibatkan dalam mengatasi atau membayar defisit BPJS. Dengan begitu mereka akan turut perperan dalam mengawasi dan mengendalikan biaya BPJS.
Baca Juga: Dokter Jiwa Usul Percobaan Bunuh Diri Ditanggung BPJS, Ini Alasannya
“Pemda harus punya tanggung jawab. Defisit itu yang selalu bayar APBN. Sehingga perlu adanya perbaikan undang-undang. Jangan sekadar mengimbau," tergasnya.
Dengan komparteminasi tersebut, ia berharap masalah defisit tiap kantong bisa teratasi. Selain itu, dana JKN untuk PBI yang dibiayai APBN tidak digunakan untuk kelompok peserta lainnya.
"Dana pemerintah harus fokus pada yang miskin dan tidak mampu. Masyarakat yang mampu harus bayar sesuai kemampuannya," tandasnya.