Suara.com - Praktik Pemotongan/Perlukaan Genital Perempuan (P2GP) atau yang umumnya dikenal sebagai sunat pada perempuan ternyata masih marak terjadi di beberapa daerah, terutama di luar Pulau Jawa.
Menurut studi yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) dan Komnas Perempuan pada 2017 di 10 provinsi di Indonesia, praktik ini didasari beberapa alasan.
"Lebih dari 90% mengatakan perintah agama, dan yang beralasan faktor tradisi karena turun menurun (sebanyak) 80,4%," tutur Sri Purwatiningsih, peneliti di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM.
Padahal, menurut Sri, di Muhammadiyah sendiri tidak ada dalil yang menganjurkan sunat pada perempuan.
Baca Juga: Praktik Sunat pada Perempuan di Indonesia Masih Marak, Apa Alasannya?
"Memang ketika kita tanyakan pada masyarakat, 'dalilnya mana?', mereka sendiri bingung karena dalilnya tidak ada," papar Sri, dalam Konferensi Internasional Pertama mengenai Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Indonesia di Hotel Sahid Jaya, Yogyakarta, Selasa (1/10/2019).
Di sisi lain, Kementerian Kesehatan juga sebenarnya telah melakukan sosialisasi tentang pencegahan sunat perempuan atau P2GP ini ke tenaga medis.
Hasil studi ini juga menunjukkan, praktik P2GP dapat menimbulkan rasa sakit dan sangat membahayakan. Sebab, praktik ini berisiko mengakibatkan pendarahan serta infeksi saat melakukannya.
Terlebih jika dilakukan oleh petugas tradisional yang tidak menggunakan alat medis yang memadai.
Baca Juga: Waduh, Ini Tiga Indikasi Medis yang Membuat Lelaki Harus Sunat
"Kalau kita melihat alat-alat yang digunakan oleh tenaga tradisional itu sangat ngeri, gitu ya. Ada yang pakai silet... di NTB itu ada yang pakai koin, di tengahnya ada lubang, dan alat itu dimasukkan ke klitoris anak dan itu dipotong," jelas Sri.
Inilah mengapa tenaga medis 'mengambil peran' dengan melayani masyarakat yang ingin melakukan sunat perempuan. Tujuannya adalah untuk mengurangi efek samping praktik tenaga tradisional.