Praktik Sunat pada Perempuan di Indonesia Masih Marak, Apa Alasannya?

Selasa, 01 Oktober 2019 | 20:54 WIB
Praktik Sunat pada Perempuan di Indonesia Masih Marak, Apa Alasannya?
Ilustrasi kesehatan reproduksi perempuan, vagina. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Hingga kini, praktik Female Genital Mutilation Cutting (FGM/C) atau Pemotongan dan Perlukaan pada Genital Perempuan (P2GP) ternyata masih banyak dilakukan di beberapa daerah di Indonesia.

Hal ini dibuktikan dalam sebuah studi oleh peneliti dari Universitas Gajah Mada dan Komnas Perempuan yang didanai oleh UNFPA di 10 provinsi di Indonesia.

Acuan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013 lalu.

Dalam Riskesdas tersebut, terungkap sebanyak 51% perempuan usia 0-11 tahun ternyata terkena praktik P2GP atau yang lebih umum disebut dengan sunat pada perempuan.

Baca Juga: Cepat dan Minim Sakit, Ini Teknik Sunat Stapler

Praktik ini termasuk menghilangkan serta melukai bagian atau keseluruhan dari organ intim perempuan atau klitoris.

Benar saja, hasil studi yang dilakukan pada 2017 ini menunjukkan, sebanyak 90% lebih dari data Riskesdas mengalami P2GP.

Sri Purwatiningsih saat menjelaskan data sunat pada perempuan Indonesia (Suara.com/Rosiana)
Sri Purwatiningsih saat menjelaskan data sunat pada perempuan Indonesia (Suara.com/Rosiana)

Sebagian besar dari 10 provinsi tersebut terdapat di luar pulau Jawa. Seperti Gorontalo, Bangka Belitung hingga NTB.

"Praktik FGM/C (P2GP) di Indonesia itu beragam. Hanya dari sekedar membersihkan, ada yang sampai melakukan pemotongan dan perlukaan," papar Sri Purwatiningsih, penulis sekaligus peneliti dari Pusat Kebijakan dan Kependudukan Universitas Gajah Mada.

Menurut studinya, sebanyak 61% praktik P2GP terjadi pada anak di bawah usia 4 bulan dan 36,1% terjadi di atas usia 4 bulan hingga 3 tahun.

Baca Juga: Meski Jarang Terjadi, Sunat Juga Bisa Bikin Komplikasi

Semua praktik sunat perempuan tersebut dilakukan oleh tenaga medis (38.41%), sedangkan 61,47% lainnya dikerjakan secara tradisional.

Organ intim perempuan. (Shutterstock)

"Dan 98,1% (dari subjek studi) mengatakan, FGM/C itu dibutuhkan, perlu dilakukan terhadap perempuan dan ini harus dilanjutkan," papar Sri dalam Konferensi Internasional Pertama mengenai Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi di Indonesia (ICIFPRH) di Hotel Sahid Jaya, Yogyakarta, Selasa (2/10/2019).

Bahkan, tambah Sri, beberapa petugas tradisional yang melakukan praktik ini akan melawan siapa saja yang berusaha menghapus sunat pada perempuan.

Dari data terkait, dapat disimpulkan bahwa praktik sunat terhadap perempuan sangat sulit dihilangkan. Terlebih, hal ini dilakukan atas dasar agama serta tradisi dalam keluarga atau masyarakat.

"Alasan paling banyak adalah perintah agama. Lebih dari 90% mengatakan itu dan yang beralasan faktor tradisi (sebanyak) 80,4%," tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI