Pelajar Ikut Demonstrasi, Guru hingga Emak-emak Angkat Bicara

Senin, 30 September 2019 | 08:05 WIB
Pelajar Ikut Demonstrasi, Guru hingga Emak-emak Angkat Bicara
Pendidik hingga para ibu angkat bicara soal demonstrasi pelajar. (Suara.com/Vessy Dwirika Frizona)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Demonstrasi yang Benar Menumbuhkan Sikap Kritis
Berbeda dengan Zaenal, Lutfi Kamal M.Pd, Kepala Sekolah SMK Nusantara 1 Comal, Jawa Tengah, justru enggan mengambil risiko dan memilih melarang muridnya ikut demonstrasi yang menyoal RUKHP dan RUU KPK.

Lutfi khawatir dengan berdemo akan menganggu masa depan anak muridnya.

"Saya khawatirnya itu anarkis, jadi tersangka perusakan fasilitas, kasihan juga akibat masa depan, keterangan lulus susah, kelakuan baik susah, apalagi kalau untuk ngalamar perusahaan besar butuh SKCK," ungkap Lutfi melalui sambungan telepon.

Meski demikian Lutfi mengaku setuju dengan demonstrasi yang tidak anarkis dan orang-orang yang ikut demo mengerti apa yang diperjuangkannya itu. Menurutnya, demonstrasi yang berkualitas tersebut bisa menumbuhkan jiwa kritis dan tidak apatis.

Baca Juga: Demonstrasi Pelajar: Aspirasi Politik atau Ikut-ikutan?

"Nah, yang dikhawatirkan jika pelajar tidak tahu betul apa yang didemokan, dan cuma sekadar ikut-ikutan lalu terjadi hal yang tidak dinginkan. Saya melihat nggak ada yang tau apa yang ingin didemokan, nggak tahu tujuannya apa. Anak-anak sekarang kan begitu nggak tahu hanya ingin ramai-ramai aja," tutur Lutfi.

Ilustrasi demonstran anak. (Suara.com/Ilustrator: Ema Rohimah)
Ilustrasi demonstran anak. (Suara.com/Ilustrator: Ema Rohimah)

Tidak jauh berbeda dengan Lutfi, Alifatun Yulianti, guru di MAN 1 Bekasi, Jawa Barat, juga punya pendapat serupa. Alif tidak setuju dengan demo yang dilakukan pelajar, meski berpendapat adalah hak setiap orang. Namun, menurutnya, pelajar dianggap belum pantas berdemo.

"Indonesia juga negara hukum yang ada aturan dimana seseorang dianggap dewasa dan bisa mempertanggungjawabkan perbuatan dan perkatannya setelah 18 tahun. Sementara anak STM masih belum dianggap dewasa jadi mungkin belum pantas kalau dilihat berdasarkan aturan," tutur Alif melalui pesan singkatnya kepada Suara.com, Minggu (29/9/2019).

Alif juga setuju demo adalah bentuk kritik, tapi untuk pelajar alih-alih turun ke jalan, menurutnya banyak yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan jiwa kritis yaitu dengan belajar berdiskusi, lalu dengan sendirinya pemikiran kritis akan terbangun.

"Cuma caranya kalau menurut saya anak seusia SMA mungkin mengkritiknya bisa dimulai dari sekolah dulu. Nah, di sini mungkin guru yang menyediakan ruang buat mereka berdiskusi antar teman dengan dampingan dari guru-guru," jelasnya.

Baca Juga: Kepsek SMK Tangerang soal Demo STM: Jika Ada Siswa Mati, Kita yang Repot

Guru pengajar PPKN ini selalu percaya belajar dan berdiskusi tetap jadi kewajiban utama pelajar. Sehingga saat menjadi mahasiswa dan dewasa jiwa sosial dan kritis akan semakin matang dan terbangun. Saat banyak orang dewasa tidak punya waktu mengkritisi, mahasiswa bisa jadi pengawal jalannya demokrasi di roda pemerintahan.

Lantas apa kata para orangtua soal demonstrasi pelajar ini?  Simak di halaman selanjutnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI