Suara.com - Ratusan Orang Sesak Napas di Amerika, Babak Baru Kontroversi Rokok Elektrik
Rokok elektrik kembali menjadi sorotan. Produk tembakau alternatif yang juga lazim disebut vape ini dinilai bertanggung jawab terhadap epidemi gangguan pernapasan yang sedang terjadi di Amerika Serikat.
Sejak akhir Agustus, sudah hampir 400 orang dilarikan ke rumah sakit, dengan 7 di antaranya meninggal dunia. Laman Time Magazine memuat tulisan yang berjudul 'Seventh Person To Die From Vaping-Related Illness in U.S. Dies in California' dan mengonfirmasi korban sebagai orang ketujuh yang meninggal dunia terkait penggunaan rokok elektrik.
Semua korban, baik yang meninggal maupun yang dirawat di rumah sakit, berasal dari Amerika Serikat, yaitu di negara bagian Oregon, Indiana, Minnesota, Kansas, dan California. Sejak 28 Juni 2019 yang lalu, negara-negara bagian tersebut telah melaporkan 94 kasus penyakit paru-paru parah yang diduga terkait penggunaan rokok elektrik atau vape yang marak di kalangan remaja dan dewasa muda.
Baca Juga: Lembaga Kesehatan AS Minta Masyarakat Jauhi Penggunaan Rokok Elektrik
Pasien dikabarkan mengalami batuk, sesak napas, dan kelelahan. Beberapa lainnya bahkan mengalami kesulitan bernapas yang serius hingga membutuhkan ventilator.
Pada 11 September, Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC) telah mengidentifikasi ada 380 kasus penyakit paru-paru yang kemungkinan terkait dengan rokok elektrik. Kejadian tersebut membuat Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, hendak mengeluarkan kebijakan mengenai rokok elektrik yang lebih ketat, dengan akan melarang semua rokok elektrik beraroma non-tembakau.
"FDA (BPOM AS) bermaksud mematangkan panduan penegakan hukum yang mengharuskan semua produk rokok elektrik beraroma, tidak termasuk aroma tembakau, dikeluarkan dari pasar sampai mereka mengajukan permohonan dan mendapatkan persetujuan di bawah otoritas tembakau pra-pemasaran FDA," kata Sekretaris Health and Human Services AS, Alex Azar, dikutip dari Marketwatch.com.
Dilarang di Amerika, Disambut Hangat di Indonesia
Salah satu produsen tembakau alternatif asal Amerika, Juul Labs, menjadi sorotan. Sebab, mereka kerap mempromosikan produknya sebagai produk tembakau alternatif yang aman dan bebas bahaya.
Baca Juga: Raksasa Rokok Elektrik di AS Jadi Sorotan, Diduga Biang Penyakit Paru-Paru
Namun klaim ini mendapat teguran dari FDA, yang meminta Juul Labs untuk tidak lagi mengiklankan produknya dengan kata-kata 'lebih aman' dan 'lebih sehat' dari produk tembakau lainnya.
Bila Amerika Serikat sudah sebegini tegasnya mengenai aturan rokok elektrik, bagaimana dengan Indonesia? Belum sampai mendapat izin edar BPOM, salah satu produsen rokok elektrik paling populer asal Amerika Serikat, Juul Labs, masuk secara resmi dan membuka toko ritel pertamanya di Indonesia pada pertengahan 2019 ini.
Juul sendiri tersedia dalam empat varian rasa yaitu Tembakau Virginia, Mint, Mangga, dan Vanila, dengan klaim pilihan kadar nikotin 3 persen dan 5 persen.
"Misi kami adalah meningkatkan kualitas 67 juta perokok dewasa di Indonesia. Sehingga untuk mencapai misi tersebut, penting bagi kami untuk hadir di berbagai lokasi di mana perokok dewasa membeli rokok konvensional. Pembukaan toko ritel Juul di Citos merupakan bagian dari langkah kami untuk hadir lebih dekat dengan perokok dewasa," tulis rilis yang dibagikan Juul saat pembukaan toko ritel di Cilandak Town Square pada awal September 2019 lalu.
Melihat fenomena tersebut, Koordinator Nasional Masyarakat Sipil Untuk Pengendalian Tembakau, Ifdhal Kasim, mempertanyakan keseriusan pemerintah Republik Indonesia dalam melindungi warganya.
"Kita lihat di Singapura dan Thailand, rokok elektrik ini sudah total dilarang. Bahkan di Amerika Serikat ada tren ke arah sana juga. Di luar negeri saja ditolak dan dipertanyakan, masa mau dibiarkan masuk ke Indonesia?" tanya Ifdhal dalam acara 'Mengkaji Produk Juul: Ditolak di Singapura, Dipertanyakan Amerika Serikat, Diterima di Indonesia?' pada Jumat, (6/9/2019).
Selanjutnya: Klaim Manfaat VS Risiko Bahaya Rokok Elektrik
Kasus pesakitan dan meninggal akibat rokok elektrik ini juga ditanggapi oleh Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K). Menurutnya, apa yang terjadi di Amerika saat ini merupakan sebuah epidemi, yang sebelumnya juga sempat terjadi di beberapa negara lain.
"Hampir 400 kasus dalam beberapa bulan, sebagian besarnya dirawat di rumah sakit hingga masuk ICU, bahkan 5 orang meninggal ini. Kejadian ini sebelumnya sudah pernah terjadi di beberapa negara lain, sudah ada warning, cuma memang kasusnya tidak sebanyak di Amerika ini sampai jadi epidemi," urai dr Agus saat dihubungi Suara.com, Senin (16/9/2019).
Ia menjelaskan, hampir semua pasien yang dirawat karena penggunaan rokok elektrik mengalami respiratory distress, alias gangguan fungsi pernapasan yang membuat seseorang menjadi sesak napas.
Kerusakan ini terjadi secara cepat dan hebat, sehingga selain sesak napas, pasien juga bisa terancam nyawanya karena tidak bisa bernapas. Lalu, apakah sudah ada kasus serupa yang terjadi di Indonesia?
Menurut dr Agus berdasarkan laporan resmi Dinas Kesehatan maupun Kementerian Kesehatan, hingga saat ini belum ada kasus gangguan fungsi pernapasan karena penggunaan rokok elektrik. Hal ini dikarenakan belum ada mekanisme pelaporan kasus gangguan paru-paru yang secara khusus disebabkan oleh rokok elektrik di fasilitas kesehatan, baik itu klinik, puskesmas, maupun rumah sakit.
"Tapi berdasarkan pengalaman rekan-rekan sejawat dokter paru, ada pasien yang paru-parunya kolaps dan bocor setelah beberapa bulan gunakan vape," tuturnya.
"Pasien saya pun ada, mengeluh paru-paru berat, batuk-batuk lama, dan itu terjadi setelah menggunakan vape selama beberapa bulan," tambah lelaki berkacamata ini.
Ia berharap apa yang terjadi di Amerika Serikat tidak terjadi di Indonesia. Namun berkaca pada tren penggunaan vape dan rokok elektrik yang semakin marak di kalangan masyarakat, menurutnya bukan tidak mungkin masalah yang sama bisa terjadi di Indonesia di masa depan.
Untuk itu, dr Agus berhadap ada sikap tegas dari pemerintah terkait pelarangan peredaran produk vape dan rokok elektrik ini. Ia menegaskan vape dan rokok elektrik bukanlah cara yang tepat digunakan jika perokok ingin berhenti merokok.
"Di Amerika dan negara-negara lain sudah mulai melakukan pelarangan. Kita tentu tidak ingin di sini kejadian juga. Jadi sebelum terlambat, baiknya dilarang supaya masyarakat tidak terkena dampak buruknya," ungkap dr Agus.
Di sisi lain, Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) menyebut apa yang terjadi di Amerika merupakan penyalahgunaan rokok elektrik. Ketua APVI Aryo Andrianto menegaskan, korban meninggal karena mengonsumsi THC oil yang berkadar tinggi dan dijual secara ilegal di Amerika.
"Pemberitaan itu kami konfirmasikan kepada Asosiasi Vape di seluruh dunia. Dan kami sekali lagi mendapatkan penjelasan bahwa kasus itu terjadi di Amerika dan benar adanya tetapi bukan karena liquid vape yang normal/legal/yang biasa digunakan oleh umumnya pengguna vape atau vapers," kata Aryo dalam keterangan kepada media, Selasa (17/9/2019).
Aryo menjelaskan, THC oil adalah unsur utama psikoaktif yang terdapat di dalam tanaman ganja. Zat ini yang disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
"Dan ada juga ditemukan kandunganya terdiri dari muatan minyak Vitamin E dosis tinggi dengan menggunakan media yang sama dengan alat alat vape yang biasa digunakan. Artinya ini kasuistis," jelas dia.
Polemik Rokok Elektrik: Klaim Manfaat VS Risiko Bahaya
Sejak awal, rokok elektrik memang dipasarkan sebagai produk tembakau alternatif pengganti rokok konvensional (rokok tembakau).
Rokok konvensional sudah terbukti secara ilmiah berbahaya bagi kesehatan. Beragam penelitian di jurnal-jurnal kesehatan mengatakan merokok meningkatkan risiko terserang kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin. Pesan ini pun tertera di setiap bungkus rokok yang dijual di Indonesia.
Atas dasar ini, keberadaan rokok elektrik disambut baik. Rokok elektrik tidak mengandung tar dan beragam racun lainnya yang ada di rokok konvensional. Bahkan, penelitian menyebut rokok elektrik bermanfaat membantu perokok yang ingin berhenti.
Pada tahun 2015, Public Health England, organisasi dibawah Kementerian Kesehatan Inggris menyimpulkan bahwa rokok elektrik lebih rendah risiko kesehatannya hingga 95 persen dibandingkan rokok konvensional.
Selanjutnya: Simpang Siur Peraturan Rokok Elektrik di Indonesia
Pada awal tahun 2019, studi yang dipublikasikan di New England Journal of Medicine juga menemukan bahwa rokok elektrik dua kali lebih efektif dibandingkan terapi pengganti nikotin (permen karet, lozenge, patches, dan inhaler) dalam membantu perokok berhenti dari kebiasaan merokok.
Dalam riset yang terbit awal tahun ini, peer-reviewed study yang dilakukan oleh Centre of Substance Use Research (CSUR) dan dipublikasikan di Journal of Pulmonary and Respiratory Medicine, juga melaporkan bahwa total konsumsi rokok di antara perokok peserta studi tersebut berkurang sekitar 73 persen, dalam periode 3 bulan sejak mereka menggunakan produk tembakau alternatif, termasuk rokok elektrik dan vape.
Namun, penelitian ilmiah juga menemukan risiko bahaya kesehatan yang muncul terkait penggunaan rokok elektrik.
Peneliti Kathleen Caron dari University of North Carolina menemukan bahwa penggunaan rokok elektrik selama kehamilan memengaruhi kesehatan jangka panjang dan metabolisme anak. Selain itu penggunaan rokok elektrik juga menunda implantasi embrio ke rahim, yang bisa menyebabkan masalah kesuburan.
Pun dengan risiko penyakit kardiovaskular, ilmuwan di Universitas Stanford menyebut ada kandungan nikotin yang berbeda pada liquid rokok elektrik dan bisa menyebabkan kerusakan DNA, kematian sel serta peradangan.
Mereka pun percaya kerusakan sel-sel yang melapisi pembuluh darah dapat menyebabkan pembuluh mengeras dan membentuk gumpalan. Artinya, penggunaan vape yang terlalu berlebihan dapat meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke.
Rokok elektrik boleh jadi membantu perokok untuk berhenti Hanya saja, remaja yang belum merokok bisa jadi perokok setelah mencoba rokok elektrik. Hal ini dibuktikan oleh studi yang dilakukan Emotion and Addiction Laboratory, University of Southern California Health, kepada 2.500 pelajar SMA di Los Angeles.
Simpang Siur Peraturan Rokok Elektrik di Indonesia
Di Indonesia, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan telah mengenakan cukai sebesar 57 persen para produk rokok elektrik sejak 1 Juli 2018 lalu.
Hal tersebut yang kemudian menjadi perdebatan di kalangan masyarakat. Produk rokok elektrik belum mendapat izin edar BPOM namun sudah dikenai cukai, sehingga menimbulkan kebingungan, apakah produk rokok elektrik legal atau ilegal?
Di sisi lain, pengenaan cukai malah semakin membuat produsen rokok elektrik percaya diri menjual produknya secara terang-terangan. Kementerian dan lembaga pemerintah jadi terkesan main lempar tangan. Sementara produk rokok elektrik masih bebas diperjualbelikan tanpa pengawasan.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K. Lukito mengatakan bahwa pihaknya tidak pernah memberikan izin kepada perusahaan rokok elektrik untuk menjual produknya di Indonesia. Meski demikian, ia mengakui bahwa BPOM tidak memiliki wewenang pengawasan produk tersebut.
"Kalau dilihat dari aspek izin edar, (rokok elektrik) ilegal. Tapi kami belum bisa melakukan pengawasan karena belum ada payung hukumnya," kata Penny saat ditemui media di Gedung Serbaguna Kemkominfo, Senin, (16/9/2019).
Payung hukum yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Dalam PP tersebut, belum ada nomenklatur rokok elektrik meski jelas-jelas rokok elektrik mengandung nikotin.
Untuk itu, kata Penny, pihak BPOM telah melakukan beberapa langkah terkait peran, tugas, dan fungsi BPOM termasuk mengambil sampel rokok elektrik untuk kemudian meneliti kandungannya.
"BPOM juga sudah melakukan FGD (Focus Group Discussion) untuk melakukan kajian sehingga kami mengeluarkan policy paper dikaitkan dengan potensi bahaya, kandungannya apa, dan apa yang telah terjadi di negara lain," tambah Penny.
Sementara Kementerian Kesehatan melalui Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, dr. Anung Sugihantono, M.Kes mengatakan bahwa peraturan rokok elektrik masih dalam tahap pembahasan. Anung mengaku Kemenkes tengah mendorong untuk mengubah Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, untuk memasukkan rokok elektrik ke dalamnya.
"Definisi umum pada pasal 1 tentang pengertian rokok tentang tembakau akan dijelaskan sejalan dengan perkembangan teknologi. Karena masih ada yang mengatakan kalau vape (rokok elektrik) ini bukan rokok hanya uap saja berbeda dengan tembakau dan produk turunannya, meski di dalam vape ada nikotin," kata Anung.
Kemenkes, kata Anung, juga tengah mendorong aturan pada kemasan rokok elektrik agar pengguna dapat membaca apa saja kandungan yang mereka hirup.
Dukungan pembuatan peraturan soal rokok juga datang dari Ketua Komisi IX DPR-RI, Dede Yusuf. Ia mengimbau agar pemerintah segera berembuk membuat peringatan mengenai peredaran rokok elektrik di masyarakat.
"Menurut saya pemerintah harus mulai mengawasi rokok elektrik karena yang pakai rokok elektrik anak-anak pun sudah pakai, perempuan juga menggunakan rokok elektrik karena ada wanginya. Rokok elektrik bagaimana pun juga adalah sesuatu yang dibakar. Ketika sesuatu yang dibakar ada karbonnya di situ, pasti juga akan menghasilkan efek (negatif) pada akhirnya," kata Dede Yusuf.
Dede Yusuf juga sadar di negara Amerika Serikat sana, rokok elektrik telah didakwa menyebabkan berbagai masalah kesehatan terutama kesehatan paru-paru. Untuk itu ia mendesak agar pemerintah segera memberikan peringatan terhadap penggunaan rokok elektrik.
"Harus ada semacan peringatan. Melarang tentu harus ada kajian tapi mulai harus ada warning. Lebih baik melakukan sesuatu daripada tidak melakukan apa-apa," tutupnya.