Kasus pesakitan dan meninggal akibat rokok elektrik ini juga ditanggapi oleh Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K). Menurutnya, apa yang terjadi di Amerika saat ini merupakan sebuah epidemi, yang sebelumnya juga sempat terjadi di beberapa negara lain.
"Hampir 400 kasus dalam beberapa bulan, sebagian besarnya dirawat di rumah sakit hingga masuk ICU, bahkan 5 orang meninggal ini. Kejadian ini sebelumnya sudah pernah terjadi di beberapa negara lain, sudah ada warning, cuma memang kasusnya tidak sebanyak di Amerika ini sampai jadi epidemi," urai dr Agus saat dihubungi Suara.com, Senin (16/9/2019).
Ia menjelaskan, hampir semua pasien yang dirawat karena penggunaan rokok elektrik mengalami respiratory distress, alias gangguan fungsi pernapasan yang membuat seseorang menjadi sesak napas.
Kerusakan ini terjadi secara cepat dan hebat, sehingga selain sesak napas, pasien juga bisa terancam nyawanya karena tidak bisa bernapas. Lalu, apakah sudah ada kasus serupa yang terjadi di Indonesia?
Baca Juga: Lembaga Kesehatan AS Minta Masyarakat Jauhi Penggunaan Rokok Elektrik
Menurut dr Agus berdasarkan laporan resmi Dinas Kesehatan maupun Kementerian Kesehatan, hingga saat ini belum ada kasus gangguan fungsi pernapasan karena penggunaan rokok elektrik. Hal ini dikarenakan belum ada mekanisme pelaporan kasus gangguan paru-paru yang secara khusus disebabkan oleh rokok elektrik di fasilitas kesehatan, baik itu klinik, puskesmas, maupun rumah sakit.
"Tapi berdasarkan pengalaman rekan-rekan sejawat dokter paru, ada pasien yang paru-parunya kolaps dan bocor setelah beberapa bulan gunakan vape," tuturnya.
"Pasien saya pun ada, mengeluh paru-paru berat, batuk-batuk lama, dan itu terjadi setelah menggunakan vape selama beberapa bulan," tambah lelaki berkacamata ini.
Ia berharap apa yang terjadi di Amerika Serikat tidak terjadi di Indonesia. Namun berkaca pada tren penggunaan vape dan rokok elektrik yang semakin marak di kalangan masyarakat, menurutnya bukan tidak mungkin masalah yang sama bisa terjadi di Indonesia di masa depan.
Untuk itu, dr Agus berhadap ada sikap tegas dari pemerintah terkait pelarangan peredaran produk vape dan rokok elektrik ini. Ia menegaskan vape dan rokok elektrik bukanlah cara yang tepat digunakan jika perokok ingin berhenti merokok.
Baca Juga: Raksasa Rokok Elektrik di AS Jadi Sorotan, Diduga Biang Penyakit Paru-Paru
"Di Amerika dan negara-negara lain sudah mulai melakukan pelarangan. Kita tentu tidak ingin di sini kejadian juga. Jadi sebelum terlambat, baiknya dilarang supaya masyarakat tidak terkena dampak buruknya," ungkap dr Agus.
Di sisi lain, Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI) menyebut apa yang terjadi di Amerika merupakan penyalahgunaan rokok elektrik. Ketua APVI Aryo Andrianto menegaskan, korban meninggal karena mengonsumsi THC oil yang berkadar tinggi dan dijual secara ilegal di Amerika.
"Pemberitaan itu kami konfirmasikan kepada Asosiasi Vape di seluruh dunia. Dan kami sekali lagi mendapatkan penjelasan bahwa kasus itu terjadi di Amerika dan benar adanya tetapi bukan karena liquid vape yang normal/legal/yang biasa digunakan oleh umumnya pengguna vape atau vapers," kata Aryo dalam keterangan kepada media, Selasa (17/9/2019).
Aryo menjelaskan, THC oil adalah unsur utama psikoaktif yang terdapat di dalam tanaman ganja. Zat ini yang disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
"Dan ada juga ditemukan kandunganya terdiri dari muatan minyak Vitamin E dosis tinggi dengan menggunakan media yang sama dengan alat alat vape yang biasa digunakan. Artinya ini kasuistis," jelas dia.
Polemik Rokok Elektrik: Klaim Manfaat VS Risiko Bahaya
Sejak awal, rokok elektrik memang dipasarkan sebagai produk tembakau alternatif pengganti rokok konvensional (rokok tembakau).
Rokok konvensional sudah terbukti secara ilmiah berbahaya bagi kesehatan. Beragam penelitian di jurnal-jurnal kesehatan mengatakan merokok meningkatkan risiko terserang kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin. Pesan ini pun tertera di setiap bungkus rokok yang dijual di Indonesia.
Atas dasar ini, keberadaan rokok elektrik disambut baik. Rokok elektrik tidak mengandung tar dan beragam racun lainnya yang ada di rokok konvensional. Bahkan, penelitian menyebut rokok elektrik bermanfaat membantu perokok yang ingin berhenti.
Pada tahun 2015, Public Health England, organisasi dibawah Kementerian Kesehatan Inggris menyimpulkan bahwa rokok elektrik lebih rendah risiko kesehatannya hingga 95 persen dibandingkan rokok konvensional.
Selanjutnya: Simpang Siur Peraturan Rokok Elektrik di Indonesia