Suara.com - Kasus Anak Berhadapan Hukum Tertinggi, Potret Buram Perlindungan Anak di Indonesia
Anak-anak dan remaja merupakan masa depan Indonesia yang harus dijaga dan dilindungi. Hal inilah yang mendasari diperingatinya Hari Anak Nasional setiap 23 Juli.
Sayangnya, momen peringatan Hari Anak Nasional tidak melulu diisi dengan perayaan dan kembang api. Kasus kekerasan, pencabulan dan pelecehan seksual, perundungan, hingga prostitusi dan perdagangan anak masih marak menjadi tajuk pemberitaan di media.
Baca Juga: Pelajar yang Kubur Bayinya Hidup-hidup Dijerat UU Perlindungan Anak
Masih segar dalam ingatan kita, kasus pelecehan seksual yang melibatkan pelaku anak siswa SD dan SMP yang memperkosa hingga hamil seorang siswi SMA di Probolinggo, Jawa Timur pada April 2019.
Pun dengan kekerasan fisik dan bullying, yang menewaskan dua orang siswa SMA Taruna Indonesia di Palembang, Sumatera Selatan.
Pemerhati anak Seto Mulyadi menyebut kasus perundungan kini amat lazim terjadi di sekolah.
Ia mengutip sebuah penelitian yang mengatakan 60 sampai 70 persen anak SD di Jawa Barat mengalami perundungan. Seto menilai, tingginya kasus kekerasan dan perilaku melawan hukum pada anak karena adanya pembiaran oleh orang-orang yang sudah tua.
"Saya pernah melakukan diskusi dengan para orangtua dan orangtua malah meremehkan (perilaku agresif anak) dengan mengatakan, namanya juga anak-anak. Padahal kalau dibiarkan akan terus berkembang," ujarnya kepada Suara.com.
Baca Juga: Ini 5 Unsur yang Bertanggung Jawab Terhadap Perlindungan Anak
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus anak berhadapan hukum atau ABH, menjadi kasus yang paling sering dilaporkan ke KPAI.
Sejak 2011 sampai 2019, jumlah kasus ABH yang dilaporkan ke KPAI mencapai angka 11.492 kasus, jauh lebih tinggi daripada laporan kasus anak terjerat masalah kesehatan dan Napza (2.820 kasus), pornografi dan cyber crime (3.323 kasus), serta trafficking dan eksploitasi (2.156 kasus).
Jika ditelaah, angka ABH karena menjadi pelaku kekerasan seksual cenderung melonjak tajam. Pada 2011, pelaku kejahatan seksual anak ada pada angka 123 kasus. Angka tersebut naik menjadi 561 kasus pada 2014, kemudian turun menjadi 157 kasus pada 2016, dan pada medio Januari sampai Mei 2019, angka kasus ABH sebagai pelaku kekerasan seksual mencapai 102 kasus.
Selain kasus kekerasan seksual yang dilakukan anak, kasus perundungan seperti fisik dan psikis yang dilakukan anak juga cukup menyita banyak perhatian. Menurut data KPAI, laporan ABH karena menjadi pelaku kekerasan fisik dan psikis mencapai 140 kasus pada tahun 2018.
Faktor yang Membuat Anak Jadi Pelaku Kekerasan dan Pencabulan
Pemerhati anak Seto Mulyadi menyebut, banyak faktor yang bisa membuat anak menjadi pelaku kekerasan hingga pencabulan. Tentu saja, peran orangtua sangat dominan, bahkan bisa dibilang menjadi penentu.
Misalnya, faktor sosio-ekonomi mungkin tidak akan menjadi penyebab langsung anak melakukan kekerasan atau pencabulan. Namun anak dari keluarga kurang mampu mungkin tidak mendapat perhatian sebesar anak dari keluarga berkecukupan.
"Tidak sepenuhnya karena sosio-ekonomi tapi artinya bisa saja. Tapi yang sering kali terjadi adalah ketidaktahuan dan ketidakpedulian orangtua. Ketidakpedulian bisa karena faktor ekonomi, orangtua sibuk mencari uang tapi juga bisa karena paradigma yang keliru mengenai anak," kata lelaki yang juga menjabat sebagai Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia ini.
Senada dengan Seto, psikolog anak dan remaja Kantiana Taslim, M.Psi dari klinik Personal Growth mengatakan, kondisi sosial ekonomi tak serta merta menjadi pengaruh tunggal mengapa anak bisa berurusan dengan hukum. Meski demikian, ia mengatakan ada hubungan antara perilaku kekerasan dan status sosial ekonomi.
"Ada beberapa penelitian yang menunjukkan kalau ada hubungan kondisi sosial ekonomi dengan perilaku tindak kekerasan atau kriminalitas yang dilakukan oleh anak," ujarnya, saat ditemui baru-baru ini.
SELANJUTNYA: Pengaruh Undang-Undang Peradilan dan Pidana Anak
Lanjutan: Faktor yang Membuat Anak Jadi Pelaku Kekerasan dan Pencabulan
Senada dengan Seto, psikolog anak dan remaja Kantiana Taslim, M.Psi dari klinik Personal Growth mengatakan, kondisi sosial ekonomi tak serta merta menjadi pengaruh tunggal mengapa anak bisa berurusan dengan hukum. Meski demikian, ia mengatakan ada hubungan antara perilaku kekerasan dan status sosial ekonomi.
"Ada beberapa penelitian yang menunjukkan kalau ada hubungan kondisi sosial ekonomi dengan perilaku tindak kekerasan atau kriminalitas yang dilakukan oleh anak," ujarnya, saat ditemui Suara.com baru-baru ini.
Pertama, adanya desakan ekonomi yang menjadi salah satu faktor pencetus seorang anak berperilaku melanggar hukum. Misal, kata Kantiana, anak mencuri barang milik tetangga.
Menurutnya, anak biasanya mendapat arahan saat melakukan hal tersebut. Sehingga lebih sering terjadi anak mencuri karena tekanan atau suruhan dari orang lain, bukan karena keinginan pribadi.
Kedua adalah upaya konformitas atau rasa ingin diakui dalam satu komunitas. Rasa ingin diakui dalam pergaulan bisa membuat anak berhadapan dengan hukum, meskipun ia sebenarnya tak ingin. Ia menerangkan bahwa anak di bawah usia 18 tahun cenderung belajar dari apa yang mereka lihat.
Ketidakmampuan anak dalam mengembangkan pemikiran, memilah apa yang baik dan yang buruk, serta kebiasan menelan sesuatu secara mentah, menjadi beberapa penyebab mengapa anak dapat menjadi pelaku kekerasan dan berurusan dengan hukum.
"Anak tidak mau melakukan itu tapi di lingkungan pergaulannya teman-teman banyak melakukan itu. Lalu anak memiliki tekanan, kemudian untuk bisa dianggap menjadi bagian dari kelompok, dia ikut-ikutan," ungkapnya lagi.
Penerapan Undang-Undang Peradilan dan Pidana Anak, Apa Dampaknya?
Indonesia memiliki Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan dan Pidana Anak. Lewat undang-undang ini, identitas ABH baik pelaku maupun korban akan ditutup dan tidak diperbolehkan untuk disebar.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan, undang-undang SPPA bahkan mengatur busana hakim, yang tidak diperkenankan bertugas mengenakan pakaian laiknya hakim pada umumnya.
"Pengadilan anak juga berlangsung cepat, tidak boleh lebih dari tiga bulan. Secepat-cepatnya satu bulan. Maka pengadilan anak setiap hari dilakukan," kata dia kepada Suara.com.
Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM, Ade Kusmanto mengatakan, UU SPPA menjamin anak pelaku kekerasan atau pencabulan tetap mendapatkan haknya sebagai anak-anak.
Salah satu contohnya, penggantian nama penjara anak atau lapas anak menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Ade mengatakan penggantian tidak sebatas nomenklatur atau nama lembaga saja, namun juga pedoman perlakuan dan program pembinaan yang ramah anak.
"Dalam program pembinaan selain diberikan pendidikan wajib 9 tahun, anak juga dibekali keterampilan sesuai minat dan bakatnya masing-masing untuk dilanjutkan setelah bebas nanti. Dikembalikan pada keluarga dan orangtuanya serta masyarakat yang diawali dengan persiapan proses terintegrasi dan asimilasi, serta melibatkan pihak-pihak lain yang konsen untuk pendidikan anak setelah mereka bebas," urai Ade.
Ia melanjutkan, mengingat rata-rata usia ABH masih masuk dalam kategori usia wajib belajar, maka fokus dari tugas LPKA adalah melakukan pembinaaan anak pada pendidikan formal maupun non-formal.
"Namun belum semua LPKA bisa menyelenggarakan proses belajar mengajar karena beberapa hal. Terkendala koordinasi dengan pihak Diknas (Dinas Pendidikan) setempat dan sampai saat ini sedang diupayakan mencari solusi dalam menyelenggarakan pendidikan bagi anak di LPKA seluruh Indonesia,” lanjutnya.
Menurut Sistem Database Pemasyarakatan, jumlah penghuni LPKA berkisar di angka 2.900-3.000 anak dari 33 LPKA yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Angka tersebut turun dari sebelumnya 6.000-7.000 anak sebelum diberlakukannya UU SPPA.
Retno mengatakan, penurunan jumlah anak yang dibina di LPKA bisa turun karena UU SPPA mengenal sistem diversi atau penyelesaian kasus hukum di luar pengadilan. Tentu saja tidak semua kasus bisa diselesaikan dengan diversi. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kasus tidak sampai ke pengadilan.
Pertama, diversi hanya bisa dilakukan satu kali. Kedua, diversi juga lebih diprioritaskan pada anak usia 14 tahun ke bawah. Ketiga dan yang paling penting, mendapat persetujuan keluarga korban.
"Jadi diversi pun tidak bisa dilakukan jika keluarga korban tidak bersedia," tegasnya.
Selanjutnya: Hapus Stigma, Cegah Anak Jadi Pelaku Kekerasan dan Pencabulan
Lanjutan: Hilangkan Stigma, Kembalikan Hak Anak
UU SPPA boleh jadi berperan dalam perlindungan anak saat menjalani peradilan dan pidana. Namun, bagaimana dengan hak anak yang terampas setelah menjalani pembinaan?
Retno tak memungkiri adanya stigma pada anak pelaku kekerasan atau pencabulan. Stigma bisa datang dari mana saja, termasuk keluarga, kerabat, tetangga, hingga sekolah.
Oleh karena itu, Retno menyayangkan jika ada ABH yang mendapat hukuman hingga 10 tahun, karena bisa kehilangan hak atas pendidikan.
"Anak juga tidak boleh dihukum 10 tahun meski (kasus) pembunuhan. Maksimal 10 tahun. Tapi kalau dihukum tujuh sampai 10 tahun bagaimana sekolahnya?" tandas Retno.
Di lapangan, kata Retno, banyak sekolah yang malah merampas hak pendidikan ABH dengan mengeluarkan mereka ketika terjerat kasus hukum.
"Yang paling sering adalah kena hukuman beberapa bulan saja dikeluarkan dari sekolah. Kalau anak tidak sekolah, lalu bagaimana? Akan menjadi problem sosial ke depannya. Makanya akses pendidikan harus dipenuhi apalagi hak pendidikan adalah hak dasar," urainya lagi.
Solusinya adalah dengan memberikan pendidikan saat anak berada di LPKA. Namun seperti dijelaskan Ade sebelumnya, belum semua LPKA mampu memberikan pendidikan.
Retno pun menekankan pentingnya kerja sama antara Dinas Pendidikan dengan LPKA. Sebabnya, masih ada dinas pendidikan daerah yang enggan memberikan pendidikan di LPKA, dengan alasan ABH bukan berasal dari kota/kabupaten setempat.
Ia menilai tidak boleh ada lagi alasan ABH bukan merupakan penduduk kota/kabupaten setempat. Semua anak Indonesia memiliki hak atas pendidikan yang sama.
"Padahal mereka semua anak Indonesia yang tidak dipenuhi hak pendidikannya," tegas Retno.
Selain pendidikan, ABH juga perlu memiliki hak atas pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan jiwa. Pendampingan oleh psikolog atau psikiater penting bagi anak, baik pelaku maupun korban.
Pendampingan juga harus dilakukan sangat panjang baik saat proses sampai paska putusan hukuman dan saat anak kembali beraktivitas biasa di masyarakat.
Anak yang didakwa sebagai pelaku tindak kriminal harus dicari solusi dan inti permasalahannya. Selain itu anak juga harus dibekali pendidikan norma yang berlaku di masyarakat.
Menurut Kantiana, hal tersebut penting karena anak cenderung tidak tahu secara jelas batasan norma dan hukum di masyarakat.
"Anak harus bertemu konselor atau psikolog dan mencari tahu penyebab atau apa yang mempengaruhinya. Kalau sudah diketahui secara lebih spesifik, akan berbeda penanganannya," ungkap Kantiana.
Cegah Sebelum Terlambat, Ini Peran Orangtua dan Masyarakat
Tentu saja tidak ada orangtua yang ingin anaknya menjadi pelaku kekerasan atau pencabulan. Pun bagi yang pernah menjadi pelaku, tentu tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Karena itu, pencegahan harus dimulai dari kelompok terdekat, yakni keluarga.
Kantiana menekankan pentingnya support system yang mumpuni. Maka dari itu, penting bagi masyarakat untuk tahu cara bersikap dan menghadapi ABH dengan cara merangkul dan menghilangkan stigma.
"Perlu juga dievaluasi apakah saat anak kembali ke masyarakat, lingkungannya adalah lingkungan memadai atau tidak? Apakah anak bisa dikembalikan ke lingkungannya?" tandasnya.
Hal itu, kata Kantiana, dapat merupakan cara untuk menghilangkan sumber ancaman anak sekaligus mencegah potensi anak mengalami masalah yang sama.
"Hal yang penting, sumber ancaman harus sudah tidak ada di lingkungan anak," ungkap Kantiana lagi.
Di sisi lain, Seto menyebut pentingnya peranan makan malam bersama dan rapat keluarga bagi anak. Dua kegiatan tersebut bisa jadi sarana bertukar pikiran antara anak dan orangtua, sehingga anak tidak mengalami perilaku yang mengundang kekerasan seperti membentak dan memukul anak.
Seto menilai hasrat orangtua untuk memiliki anak penurut dan mudah diperintah laiknya robot yang bisa dikendalikan tidak akan mendukung anak meraih potensi maksimalnya. Sebabn, anak memiliki keinginan, hasrat, minat, dan bakat sendiri yang mungkin berbeda dengan keinginan orangtua.
"Hal tersebut malah tidak mendidik anak menjadi mandiri dan memiliki kemampuan bekerjasama," tegasnya.
Retno menilai langkah-langkah tersebut cukup baik dilakukan untuk mencegah anak menjadi pelaku kekerasan atau pencabulan. Yang terpenting, keluarga tidak boleh kehilangan kehangatan saat mendidik anak.
"Andai keluarga hangat dan saling mendukung, anak dimotivasi berkarya, anak potensinya dikembangkan, tidak akan terjadi," tutup Retno.