Lanjutan: Hilangkan Stigma, Kembalikan Hak Anak
UU SPPA boleh jadi berperan dalam perlindungan anak saat menjalani peradilan dan pidana. Namun, bagaimana dengan hak anak yang terampas setelah menjalani pembinaan?
Retno tak memungkiri adanya stigma pada anak pelaku kekerasan atau pencabulan. Stigma bisa datang dari mana saja, termasuk keluarga, kerabat, tetangga, hingga sekolah.
Oleh karena itu, Retno menyayangkan jika ada ABH yang mendapat hukuman hingga 10 tahun, karena bisa kehilangan hak atas pendidikan.
Baca Juga: Pelajar yang Kubur Bayinya Hidup-hidup Dijerat UU Perlindungan Anak
"Anak juga tidak boleh dihukum 10 tahun meski (kasus) pembunuhan. Maksimal 10 tahun. Tapi kalau dihukum tujuh sampai 10 tahun bagaimana sekolahnya?" tandas Retno.
Di lapangan, kata Retno, banyak sekolah yang malah merampas hak pendidikan ABH dengan mengeluarkan mereka ketika terjerat kasus hukum.
"Yang paling sering adalah kena hukuman beberapa bulan saja dikeluarkan dari sekolah. Kalau anak tidak sekolah, lalu bagaimana? Akan menjadi problem sosial ke depannya. Makanya akses pendidikan harus dipenuhi apalagi hak pendidikan adalah hak dasar," urainya lagi.
Solusinya adalah dengan memberikan pendidikan saat anak berada di LPKA. Namun seperti dijelaskan Ade sebelumnya, belum semua LPKA mampu memberikan pendidikan.
Retno pun menekankan pentingnya kerja sama antara Dinas Pendidikan dengan LPKA. Sebabnya, masih ada dinas pendidikan daerah yang enggan memberikan pendidikan di LPKA, dengan alasan ABH bukan berasal dari kota/kabupaten setempat.
Baca Juga: Ini 5 Unsur yang Bertanggung Jawab Terhadap Perlindungan Anak
Ia menilai tidak boleh ada lagi alasan ABH bukan merupakan penduduk kota/kabupaten setempat. Semua anak Indonesia memiliki hak atas pendidikan yang sama.
"Padahal mereka semua anak Indonesia yang tidak dipenuhi hak pendidikannya," tegas Retno.
Selain pendidikan, ABH juga perlu memiliki hak atas pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan jiwa. Pendampingan oleh psikolog atau psikiater penting bagi anak, baik pelaku maupun korban.
Pendampingan juga harus dilakukan sangat panjang baik saat proses sampai paska putusan hukuman dan saat anak kembali beraktivitas biasa di masyarakat.
Anak yang didakwa sebagai pelaku tindak kriminal harus dicari solusi dan inti permasalahannya. Selain itu anak juga harus dibekali pendidikan norma yang berlaku di masyarakat.
Menurut Kantiana, hal tersebut penting karena anak cenderung tidak tahu secara jelas batasan norma dan hukum di masyarakat.
"Anak harus bertemu konselor atau psikolog dan mencari tahu penyebab atau apa yang mempengaruhinya. Kalau sudah diketahui secara lebih spesifik, akan berbeda penanganannya," ungkap Kantiana.
Cegah Sebelum Terlambat, Ini Peran Orangtua dan Masyarakat
Tentu saja tidak ada orangtua yang ingin anaknya menjadi pelaku kekerasan atau pencabulan. Pun bagi yang pernah menjadi pelaku, tentu tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama. Karena itu, pencegahan harus dimulai dari kelompok terdekat, yakni keluarga.
Kantiana menekankan pentingnya support system yang mumpuni. Maka dari itu, penting bagi masyarakat untuk tahu cara bersikap dan menghadapi ABH dengan cara merangkul dan menghilangkan stigma.
"Perlu juga dievaluasi apakah saat anak kembali ke masyarakat, lingkungannya adalah lingkungan memadai atau tidak? Apakah anak bisa dikembalikan ke lingkungannya?" tandasnya.
Hal itu, kata Kantiana, dapat merupakan cara untuk menghilangkan sumber ancaman anak sekaligus mencegah potensi anak mengalami masalah yang sama.
"Hal yang penting, sumber ancaman harus sudah tidak ada di lingkungan anak," ungkap Kantiana lagi.
Di sisi lain, Seto menyebut pentingnya peranan makan malam bersama dan rapat keluarga bagi anak. Dua kegiatan tersebut bisa jadi sarana bertukar pikiran antara anak dan orangtua, sehingga anak tidak mengalami perilaku yang mengundang kekerasan seperti membentak dan memukul anak.
Seto menilai hasrat orangtua untuk memiliki anak penurut dan mudah diperintah laiknya robot yang bisa dikendalikan tidak akan mendukung anak meraih potensi maksimalnya. Sebabn, anak memiliki keinginan, hasrat, minat, dan bakat sendiri yang mungkin berbeda dengan keinginan orangtua.
"Hal tersebut malah tidak mendidik anak menjadi mandiri dan memiliki kemampuan bekerjasama," tegasnya.
Retno menilai langkah-langkah tersebut cukup baik dilakukan untuk mencegah anak menjadi pelaku kekerasan atau pencabulan. Yang terpenting, keluarga tidak boleh kehilangan kehangatan saat mendidik anak.
"Andai keluarga hangat dan saling mendukung, anak dimotivasi berkarya, anak potensinya dikembangkan, tidak akan terjadi," tutup Retno.