Lanjutan: Faktor yang Membuat Anak Jadi Pelaku Kekerasan dan Pencabulan
Senada dengan Seto, psikolog anak dan remaja Kantiana Taslim, M.Psi dari klinik Personal Growth mengatakan, kondisi sosial ekonomi tak serta merta menjadi pengaruh tunggal mengapa anak bisa berurusan dengan hukum. Meski demikian, ia mengatakan ada hubungan antara perilaku kekerasan dan status sosial ekonomi.
"Ada beberapa penelitian yang menunjukkan kalau ada hubungan kondisi sosial ekonomi dengan perilaku tindak kekerasan atau kriminalitas yang dilakukan oleh anak," ujarnya, saat ditemui Suara.com baru-baru ini.
Pertama, adanya desakan ekonomi yang menjadi salah satu faktor pencetus seorang anak berperilaku melanggar hukum. Misal, kata Kantiana, anak mencuri barang milik tetangga.
Baca Juga: Pelajar yang Kubur Bayinya Hidup-hidup Dijerat UU Perlindungan Anak
Menurutnya, anak biasanya mendapat arahan saat melakukan hal tersebut. Sehingga lebih sering terjadi anak mencuri karena tekanan atau suruhan dari orang lain, bukan karena keinginan pribadi.
Kedua adalah upaya konformitas atau rasa ingin diakui dalam satu komunitas. Rasa ingin diakui dalam pergaulan bisa membuat anak berhadapan dengan hukum, meskipun ia sebenarnya tak ingin. Ia menerangkan bahwa anak di bawah usia 18 tahun cenderung belajar dari apa yang mereka lihat.
Ketidakmampuan anak dalam mengembangkan pemikiran, memilah apa yang baik dan yang buruk, serta kebiasan menelan sesuatu secara mentah, menjadi beberapa penyebab mengapa anak dapat menjadi pelaku kekerasan dan berurusan dengan hukum.
"Anak tidak mau melakukan itu tapi di lingkungan pergaulannya teman-teman banyak melakukan itu. Lalu anak memiliki tekanan, kemudian untuk bisa dianggap menjadi bagian dari kelompok, dia ikut-ikutan," ungkapnya lagi.
Penerapan Undang-Undang Peradilan dan Pidana Anak, Apa Dampaknya?
Baca Juga: Ini 5 Unsur yang Bertanggung Jawab Terhadap Perlindungan Anak
Indonesia memiliki Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan dan Pidana Anak. Lewat undang-undang ini, identitas ABH baik pelaku maupun korban akan ditutup dan tidak diperbolehkan untuk disebar.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti mengatakan, undang-undang SPPA bahkan mengatur busana hakim, yang tidak diperkenankan bertugas mengenakan pakaian laiknya hakim pada umumnya.
"Pengadilan anak juga berlangsung cepat, tidak boleh lebih dari tiga bulan. Secepat-cepatnya satu bulan. Maka pengadilan anak setiap hari dilakukan," kata dia kepada Suara.com.
Kepala Bagian Humas Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM, Ade Kusmanto mengatakan, UU SPPA menjamin anak pelaku kekerasan atau pencabulan tetap mendapatkan haknya sebagai anak-anak.
Salah satu contohnya, penggantian nama penjara anak atau lapas anak menjadi Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Ade mengatakan penggantian tidak sebatas nomenklatur atau nama lembaga saja, namun juga pedoman perlakuan dan program pembinaan yang ramah anak.
"Dalam program pembinaan selain diberikan pendidikan wajib 9 tahun, anak juga dibekali keterampilan sesuai minat dan bakatnya masing-masing untuk dilanjutkan setelah bebas nanti. Dikembalikan pada keluarga dan orangtuanya serta masyarakat yang diawali dengan persiapan proses terintegrasi dan asimilasi, serta melibatkan pihak-pihak lain yang konsen untuk pendidikan anak setelah mereka bebas," urai Ade.
Ia melanjutkan, mengingat rata-rata usia ABH masih masuk dalam kategori usia wajib belajar, maka fokus dari tugas LPKA adalah melakukan pembinaaan anak pada pendidikan formal maupun non-formal.
"Namun belum semua LPKA bisa menyelenggarakan proses belajar mengajar karena beberapa hal. Terkendala koordinasi dengan pihak Diknas (Dinas Pendidikan) setempat dan sampai saat ini sedang diupayakan mencari solusi dalam menyelenggarakan pendidikan bagi anak di LPKA seluruh Indonesia,” lanjutnya.
Menurut Sistem Database Pemasyarakatan, jumlah penghuni LPKA berkisar di angka 2.900-3.000 anak dari 33 LPKA yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Angka tersebut turun dari sebelumnya 6.000-7.000 anak sebelum diberlakukannya UU SPPA.
Retno mengatakan, penurunan jumlah anak yang dibina di LPKA bisa turun karena UU SPPA mengenal sistem diversi atau penyelesaian kasus hukum di luar pengadilan. Tentu saja tidak semua kasus bisa diselesaikan dengan diversi. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kasus tidak sampai ke pengadilan.
Pertama, diversi hanya bisa dilakukan satu kali. Kedua, diversi juga lebih diprioritaskan pada anak usia 14 tahun ke bawah. Ketiga dan yang paling penting, mendapat persetujuan keluarga korban.
"Jadi diversi pun tidak bisa dilakukan jika keluarga korban tidak bersedia," tegasnya.
Selanjutnya: Hapus Stigma, Cegah Anak Jadi Pelaku Kekerasan dan Pencabulan