Tak Disangka, Faktor Genetik Bisa Berperan dalam Risiko Bunuh Diri

Vania Rossa Suara.Com
Jum'at, 12 Juli 2019 | 17:15 WIB
Tak Disangka, Faktor Genetik Bisa Berperan dalam Risiko Bunuh Diri
Ilustrasi bunuh diri. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Siapa tak kenal Ernest Hemingway, penulis cerdas yang buku-bukunya menghiasi rak di toko buku seluruh dunia. Hemingway melakukan bunuh diri sekitar tiga minggu sebelum ulang tahunnya yang ke-62. Dan yang mengejutkan, ternyata 5 anggota keluarga terdekat Hemingway lainnya, yaitu ayahnya, dua orang saudaranya, dan cucunya, juga melakukan bunuh diri.

Diduga, beberapa anggota dari garis keturunan ayah Hemingway memiliki kondisi genetik tertentu yang membuat mereka berisiko melakukan bunuh diri.

Dikutip dari wikipedia, penyakit keturunan yang diderita keluarga Hemingway dikenal sebagai hemokromatosis, di mana terjadi konsentrasi zat besi yang berlebihan di dalam darah, yang menyebabkan kerusakan pada pankreas dan juga menyebabkan depresi atau ketidakstabilan dalam cerebrum.

Baca Juga: Teliti Ide Bunuh Diri pada Remaja, Nova Riyanti Yusuf Raih Gelar Doktor

Hal ini diamini oleh DR. dr. Nova Riyanti Yusuf, SoKJ, yang baru saja meraih gelar doktor di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Kamis (11/7/2019).

"Faktor genetik berperan dalam risiko gangguan jiwa, termasuk bunuh diri. Bunuh diri bisa jadi output dari depresi berat yang tidak ditangani. Atau bunuh diri bisa jadi output skizofrenia yang ada bisikan-bisikan yang yang menyuruh seseorang bunuh diri. Jadi, bunuh diri itu output dari gangguan jiwa," katanya dalam temu media di Gedung G Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok, pascasidang terbuka program doktoralnya.

Faktor risiko bunuh diri itu kompleks, tapi menurut perempuan yang akrab pula disapa Noriyu ini, bisa disederhanakan menggunakan teori biopsikososial, yaitu faktor biologi, psikologi, dan sosial.

Ia mencontohkan sebuah kasus yang pernah ditelitinya, yaitu kasus pelukis asal Yogyakarta yang melakukan bunuh diri. "Dicek biologinya, tidak ada keturunan bunuh diri di keluarganya. Tapi begitu dicek psikologinya, ada kondisi kejiwaan yang ternyata tidak tertangani," jelasnya.

Si pelukis, kata Nova, setiap kali melukis, ia akan berdandan dengan sangat rapi, memakai sepatu dan kemeja. Semalaman ia memiliki energi berlebih untuk melukis, sambil menyanyi dan bersiul-siul. Ternyata, pada saat berkreasi, ia mengalami fase manik, bagian dari bipolar.

Baca Juga: Ingin Bunuh Diri Karena Diduga Dicabuli Teman Sendiri, AF Tersangkut di JPO

"Nah, pada saat mau bunuh diri, ia masuk ke fase depresi dan psikotik, di mana ia tidak bisa membedakan antara realitas dan khayalan. Menurut keluarganya, dia menjadi menarik diri dari pergaulan. Dan sehari sebelum bunuh diri, si pelukis itu merasa seperti ada belatung berjalan di tangannya," paparnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI