Suara.com - Tercekik Polusi Udara, Pembunuh Tak Kasat Mata di Ibu Kota
Asap hitam mengepul dari knalpot bus kota. Sejumlah penumpang yang sedang menunggu bus di halte Cilandak pun serempak menutup wajah, menghindari paparan asap yang menyengat hidung.
Di Jakarta, pemandangan seperti ini bisa Anda lihat setiap hari, terutama di jam-jam sibuk saat berangkat dan pulang kerja. Penumpang angkutan umum, baik itu angkot kecil, ojek online, maupun bus kota, fasih mengenakan masker di wajah.
Baca Juga: Greenpeace: Pemerintah Tidak Pernah Serius Atasi Polusi Udara
Bukan tanpa alasan, tingkat polusi udara di kawasan Jabodetabek memang sudah sampai tahap mengkhawatirkan. Angka polusi udara tercatat sangat tinggi, bahkan melebihi standar baku mutu yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Baku mutu nasional rata-rata harian untuk partikulat matter (PM)2,5 adalah 65 mg/m3. Tapi berdasarkan pantauan Suara.com melalui data laman Airvisual.com pada Jumat (14/6/2019), indeks kualitas udara PM2,5 di Jakarta mencapai angka 113 mg/m3, yang artinya berbahaya bagi orang kelompok sensitif.
Angka tersebut bukanlah angka terburuk yang pernah tercatat oleh Airvisual. Pada Kamis, (13/6) angka polutan Jakarta menjadi yang terburuk di dunia, tepat di atas Dhaka, ibu kota Bangladesh, dengan kadar polutan PM2,5 mencapai angka 180 mg/m3.
Bahkan secara rata-rata, pada 2018 Jakarta menempati posisi pertama sebagai kota dengan kondisi udara terburuk di Asia Tenggara.
"Banyak angka (polusi) yang melebihi baku mutu. Harusnya ada peringatan dari pemerintah bahwa ini (polusi) sudah berbahaya bagi tubuh," ujar Juru Kampanye Iklim dan Energi LSM Greepeace, Bondan Andriyanu kepada Suara.com.
Baca Juga: Lebih Berbahaya Ketimbang Asap Rokok, Jakarta Kini Darurat Polusi Udara
Dikatakan Bondan, polusi udara merupakan masalah yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Masalah polusi udara ini menurutnya, sudah harus ditanggapi serius oleh pemerintah.
Hal ini diamini oleh Dr. dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P(K), Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Kepada Suara.com, ia mengungkapkan bahwa polusi udara berdasarkan penelitian ilmiah merupakan penyebab utama beberapa penyakit mematikan seperti infeksi saluran pernapasan akut, penyakit paru obstruktif kronik, asma, hingga kanker paru.
Bahkan, menurut hasil studi Global Health Observatory yang diterbitkan WHO pada tahun 2016, polusi udara luar ruangan bertanggung jawab terhadap 7,6 persen total kematian di seluruh dunia.
PM2,5 Si Mungil Nan Mematikan
Perbincangan seputar bahaya polusi udara tidak akan berkembang tanpa memahami apa sebenarnya yang termasuk dalam kategori polusi udara.
Dijelaskan dr. Agus, beberapa jenis polutan yang lazim ditemukan di udara terbuka adalah karbon monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx), hidrokarbon, partikulat (PM10 dan PM2,5) hingga oksida sulfur (SOx).
PM2,5 merupakan polutan paling berbahaya. Ukurannya yang sangat kecil, hanya 3 persen dari diameter rambut manusia, membuatnya rentan masuk ke aliran darah melalui saluran pernapasan.
PM2,5 adalah partikel yang sangat kecil yang berasal dari asal kendaraan, pabrik, pembangkit listrik, hingga asap kompor dalam rumah tangga.
Hasil studi Greenpeace menyebut tingginya konsentrasi PM2,5 di Jakarta disebabkan antara lain meningkatnya jumlah kendaraan pribadi dan pembangkit listrik tenaga uap yang beroperasi di sekeliling Jakarta dalam radius 100 km.
"Berdasarkan pemodelan yang dilakukan oleh Greenpeace, PLTU batubara yang sudah beroperasi tersebut dapat berkontribusi sebanyak 33 hingga 38 persen dari konsentrasi PM2,5 harian di Jakarta pada kondisi terburuk," jelas Greenpeace.
Lantas, upaya apa yang dilakukan agar polusi udara di Jakarta tak makin memburuk? Simak ulasannya di halaman selanjutnya.