Suara.com - Penelitian yang dilakukan Dr. dr. Laurentia Konadi Mihardja, MS., SpGK, pakar di Bidang Epidemiologi dan Biostatistik, menemukan bahwa prevalensi diabetes melitus telah bergeser dari dewasa ke anak-anak. Jika pada orang dewasa dipicu pola hidup, maka pada anak-anak faktor risiko diabetes melitus, kata dia, dipicu oleh kondisi stunting yang diidap sejak bayi.
"Prevalensi faktor risiko diabetes melitus seperti stunting, kegemukan, prediabetes, dan gaya hidup tidak sehat cukup tinggi pada anak dan remaja," ujar Dr. Laurentia dalam pengukuhannya di Kementerian Kesehatan, Kamis (13/6/2019).
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek yang mengukuhkan Laurentia sebagai Profesor Riset, mengatakan bahwa penanganan dan pencegahan stunting itu penting dilakukan sejak dini. Pasalnya stunting tak hanya membuat kecerdasan seorang anak menurun, tapi juga memicu penyakit tidak menular di masa mendatang.
"Stunting menyebabkan kita kerdil, otak kita kerdil, IQ kita kecil, dan kita tidak bisa mencapai prestasi yang baik. Stunting juga terkorelasi dengan penyakit tidak menular di masa usia dewasa. Ada satu siklus yang memang betul kita harus mengatasinya," ujar Menkes Nila.
Baca Juga: Cegah Stunting di Papua, BKKBN Siap Tingkatkan Kemampuan Asuh Orang Tua
Pemerintah, kata dia, memiliki program yang masuk dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) untuk menurunkan prevalensi stunting. Data Riset Kesehatan Dasar 2018, kata Menkes, menyebut bahwa angka stunting mencapai 30,8 persen. Ini artinya 3 dari 10 anak Indonesia menderita stunting.
"Kalau tiga anak ini mengalami stunting, maka mereka akan mendapat penyakit tidak menular. Nah ini akan menyebabkan presentase penyakit katastropik juga meningkat. Oleh karena itu, betul program stunting ini harus kita bersama-sama mengatasinya bukan hanya Kemenkes," tandasnya.