Suara.com - Kondisi pelaku bom bunuh diri di Pos Pantau Polres Sukoharjo di simpang Kartasura, Rofik Asharudin, dikabarkan sudah stabil dan bisa berkomunikasi.
Hal ini dijelaskan oleh Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, pada Selasa (4/6/2019).
"Sekarang lagi dilakukan perawatan kepada yang bersangkutan, semoga cepat sembuh," kata Dedi Prasetyo.
Dedi juga mengungkapkan pihaknya segera melakukan pemeriksaan pada pelaku. Saat ini, Rofik tengah dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara, Semarang.
Baca Juga: Pelaku Bom Bunuh Diri Pospam Kartasura Disebut Sempat Menghilang
Saat menjalankan aksinya, diketahui Rofik menggunakan bom pinggang sehingga perut dan tangan kanannya terluka parah.
Berdasarkan pemeriksaan terhadap Rofik sebelumnya, pria 22 tahun ini diketahui terpapar paham ISIS.
"Dari hasil pemeriksaan pelaku ini adalah suicide bomber. Yang bersangkutan secara individu terpapar paham ISIS," jelas Dedi Prasetyo.
Di sisi lain, warga sekitar juga mengaku ada perubahan dalam kepribadian Rofik setelah dirinya pergi dari rumah selama 3 bulan.
"Sebelum pergi, dia masih sosialisasi," tutur Tumirin, salah satu tetangga pelaku.
Baca Juga: Pelaku Bom Bunuh Diri Kartasura Bekerja Sebagai Penjual Gorengan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Fathali Moghaddam dari Universitas Georgetown, AS, ada penjelasan psikologis terkait dengan kasus Rofik ini.
Ia mengatakan, terdapat 6 fase yang harus dilalui seseorang sebelum melakukan tindakan kekerasan mematikan. Setiap tahap membutuhkan waktu, tergantung pada tingkat pemaparan seseorang terhadap ideologi kekerasan, seperti yang dilansir dari NCBI via The Conversation.
- Rasa ketidakadilan dan keinginan untuk berubah
Enam fase dimulai dari basis. Pada tahap ini, perasaan yang dimiliki oleh sebagian besar orang adalah ketidakadilan. Dalam konteks "terorisme Islam", mereka merasakan sistem internasional menindas umat Islam.
Mereka yang ingin menemukan para pelaku ketidakadilan, berarti telah memasuki fase kedua.
- Mencari 'dalang' dan mulai bertarung
Pada fase ketiga, mereka mencoba menemukan siapa di balik penindasan umat Islam.
Ketika Indonesia menganut demokrasi, kelompok-kelompok teroris menyebut negara sebagai 'pemerintahan setan'. Oleh karena itu, mereka melihat penegak hukum seperti polisi sebagai musuh.
Pada fase keempat, mereka mulai setuju untuk menggunakan segala cara, termasuk pemboman bunuh diri. Orang-orang yang setuju dengan apa yang dilakukan kelompok teroris mungkin berada pada tahap ini.
- Persiapan dan ledakan
Pada fase kelima, mereka mulai bersiap menyerang. Ekstremis menganggap persiapan (idad) sebelum serangan (amaliyat) bagian dari jihad atau pertempuran suci.
Pada kasus Rofik, ia melakukan penyerangan dengan menyiapkan dan menggunakan sabuk bom bunuh diri serta mendekati sasaran.
Tahap keenam, pelaku mulai melakukan aksinya, yaitu meledakkan bom bunuh diri.
Sementara itu, Profesor psikologi Sarlito W. Sarwono menulis bahwa benih-benih ideologi ekstrem ditanam sejak usia muda dan itu bukan proses pencucian otak instan.
Oleh karena itu, mengubah ideologi ekstrem mereka tidaklah mudah. Guna mencegah paparan ideologi ekstrem, anak muda harus ditargetkan dengan nilai-nilai toleransi sejak usia muda.