“Bu Menteri mengatakan bahwa pasien akan tetap dilayani dengan kondisi seperti sebelum adanya surat pencabutan itu, namun kenyataanya berdasarkan informasi di lapangan, dari 30 rumah sakit yang menangani pasien kanker kolorektal hingga minggu ini ada sekitar 75 pasien yang tidak terpenuhi haknya untuk dilayani dengan semestinya,” lanjut Hamid.
Ketidakjelasan komunikasi mengenai penundaan pencabutan ini membuat pasien kesulitan untuk mendapatkan obatnya. Salah satu pasien kanker kolorektal, Aisyah kesulitan mendapatkan haknya terhadap obat yang tidak jadi dicabut oleh Kementerian Kesehatan.
“Begitu sampai ke farmasi Rumah Sakit Dharmais, saya diinformasikan bahwa obat kanker kolorektal tidak ditanggung lagi oleh BPJS Kesehatan. Infonya dari farmasi bahwa ada pencabutan dari Menteri Kesehatan,” terang Aisyah.
Aisyah menjelaskan bahwa info tersebut didapatkannya setelah RDPU di DPR 11 Maret 2019. Dia menjelaskan bahwa dokter yang menanganinya keheranan karena harusnya obat itu tetap ditanggung karena pencabutannya ditangguhkan.
Baca Juga: Dua Obat Kanker Usus Tak Ditanggung BPJS, Ini Tanggapan RS Kanker Dharmais
“Pihak farmasi mengatakan tidak bisa menerima resep obat tersebut karena tidak ada surat dari Kementerian Kesehatan mengenai penundaan pencabutan tersebut. Pihak farmasi dan BPJS Kesehatan di RS Dharmais menjelaskan bahwa mereka telah menerima surat pencabutan obat, namun tidak menerima surat pembatalan pencabutan tanggungan,” papar Aisyah.
Ketua Umum Cancer Information and Support Center (CISC) Aryanthi Baramuli menyatakan kekecewaan yang sama terhadap Kementerian Kesehatan. Menurutnya Yanthi kondisi pasien kanker yang tidak mendapatkan obat yang menjadi haknya ini terkait tidak adanya langkah cepat dari Kementerian Kesehatan dalam melakukan sosialisasi ke rumah sakit dan BPJS Kesehatan.
“Saya yakin rumah sakit dan juga BPJS Kesehatan sudah mendapatkan informasi bahwa pada RDPU dengan Komisi IX DPR Menteri Kesehatan menyatakan melakukan pembatalan pencabutan obat target terapi kanker, beritanya ada di berbagai media cetak, online maupun televisi. Namun kan kita semua juga tahu agar rumah sakit dan BPJS Kesehatan bisa memberikan obat yang sudah diresepkan dokter, harus ada sosialisasi dari Kementerian Kesehatan yang dalam bentuk surat juga yang akan menjadi pegangan,” jelas Yanthi.
Yanthi menjelaskan bahwa tidak adanya surat tersebut sama saja melakukan pembiaran atas kondisi yang tidak menguntungkan bagi pasien untuk mendapatkan obatnya.
Menurut Yanthi yang juga merupakan penyintas kanker ini, organisasi hak pasien sangat menyayangkan atas kondisi yang sangat merugikan pasien ini. Seharusnya Kementerian Kesehatan mengutamakan hak pasien yang sudah dijanjikannya dalam RDPU dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Baca Juga: Waspada Kanker Usus, Penyakit yang Diderita Istri Ustadz Maulana
“Dalam pengalaman kami selama ini menyuarakan hak pasien, seharusnya keluarnya surat penundaan pencabutan ini bisa keluar dalam waktu singkat. Kami jadi bertanya-tanya kenapa surat yang menguatkan pernyataan Ibu Menteri di DPR ini lama sekali keluarnya hingga pasien tidak bisa mendapatkan haknya atas obat yang layak,” tutup Yanthi.