Budaya Victim Blaming, Sederet Kasus Pelecehan Seksual yang Salahkan Korban

Ade Indra Kusuma Suara.Com
Kamis, 25 April 2019 | 14:58 WIB
Budaya Victim Blaming, Sederet Kasus Pelecehan Seksual yang Salahkan Korban
Komite Aksi Perempuan dan berbagai elemen menggelar aksi "Save Our Sister" [Suara.com]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sebuah pengakuan tentang pelecehan seksual yang dialami penumpang kereta api viral di Twitter. Berdasarkan keterangan wanita itu, petugas PT Kereta Api Indonesia (KAI) tidak memberikan bantuan yang memuaskan dan malah merendahkan dirinya.

Ironisnya, saat si korban melaporkan pelecehan seksual yang dialaminya, petugas PT Kereta Api Indonesia (KAI) justru menyalahkan korban yang menyebutny seperti "perempuan karaokean".

"Ladies, i need you to be aware if you meet this disgusting man. Yesterday in a train, he fu*king dared to secually assault me," kata korban seperti dikutip Suara.com, Rabu (24/4/2019).

Cuitan itu langsung tersebar luas di Twitter tak lama setelah diunggah pada Rabu (24/4/2019) pagi. Terduga korban pelecehan seksual ini menggunakan bahasa Inggris dalam menceritakan kejadiannya.

Baca Juga: Ada Penusukan dan Pelecehan Seksual di TransJakarta, Harus Tambah CCTV

Budaya menyalahkan korban begitu lazim ditemui sehingga banyak para penyintas ini takut melaporkan kasus yang dialami. Beberapa korban mungkin khawatir akan mendapat stigma buruk.

Victim Blaming adalah sebuah istilah yang menyalahkan korban terhadap kesalahan atau bencana yang menimpa dirinya sendiri.

Mereka para korban dianggap merusak nama baik keluarga atau lembaga. Mereka bahkan dapat dikriminalisasi karena melaporkan tindak pelecehan atau pemerkosaan tersebut.

Berikut Suara.com rangkum sederet kasus pelecehan seksual terdahulu yang mengandung unsur Victim Blaming atau menyalahkan korban sebagai penyebab aksi pelecehan.

1. Pelecehan di Angkot

Baca Juga: Curhat Pelecehan di Kampus, Pedagang Pegang Bagian Pribadi Mahasiswi

Ilustrasi perkosaan. [Shutterstock]
Ilustrasi perkosaan. [Shutterstock]

Ini bukan kali pertama, orang-orang berpengaruh memiliki pandangan yang tak adil terhadap korban pelecehan dan pemerkosaan.

JIka memutar waktu sebut saja mantan Gubernur Jakarta, Fauzi Bowo dulu pernah memberi komentar terhadap kasus pemerkosaan di angkot dan berujar bahwa perkosaan tak akan terjadi jika korban tidak menggunakan rok mini. Walaupun pada akhirnya ia meminta maaf atas pernyataannya tersebut.

Lalu ada juga almarhum Olga Syahputra yang pernah dikecam lantaran lawakannya dinilai kelewatan.

Olga, kenapa lu jadi suster ngesot?," tanya Sule.

Dengan santai, Olga menjawab, "Sepele, diperkosa sopir angkot," ujaranya kala itu.

Sontak, lawakan tersebut membuat beberapa kelompok masyarakat meradang. Apalagi, kasus pemerkosaan bukan hal sepele.

2. Keseleo lidah Menteri Pendidikan

Ilustrasi pelecehan seksual terhadap anak. [shutterstock]
Ilustrasi pelecehan seksual terhadap anak. [shutterstock]

Di tahun 2012, pejabat publik lain yang juga “keseleo lidah” menanggapi kasus perkosaan adalah Mohammad Nuh Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, saat mengomentari kasus perkosaan terhadap gadis 14 tahun yang kemudian malah dikeluarkan dari sekolahnya karena dianggap membawa aib.

“Bisa terjadi karena suka sama suka…lalu yang perempuan menuduhnya pemerkosaan,” ujarnya enteng dengan menyalahkan korban.

3. Kasus Yuyun

Lalu ada lagi kasus Yuyun, gadis malang ini menjadi korban dan harus meregang nyawa usai diperkosa oleh 14 pemuda di tengah perjalanannya pulang ke rumah sepulang sekolah.

Masih saja ada segelintir orang yang melontarkan beberapa kalimat bernada ‘menyalahkan’ seperti ‘mengapa harus pulang sendiri? Itu kan daerah rawan’, ‘kenapa tidak ditemani atau dijemput?’.

Kemudian, muncul dukungan berupa tagar #NyalaUntukYuyun dan petisi untuk mendesak pemerintah agar segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

4. Kasus Baiq Nuril

Pegiat HAM menggelar aksi kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (22/11). (Suara.com/Fakhri Hermansyah)
Pegiat HAM menggelar aksi kamisan di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Kamis (22/11). (Suara.com/Fakhri Hermansyah)

Di Lombok, ada guru perempuan bernama Baiq Nuril yang merekam percakapan asusila yang dilakukan seorang kepala sekolah terhadap dirinya sebagai bukti untuk membela diri.

Namun Baiq malah dihukum 6 bulan penjara dan didenda Rp 500 juta lantaran dinyatakan bersalah oleh pengadilan karena melanggar Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dalam menyebarkan dokumen elektronik dengan muatan asusila.

Kasus-kasus tersebut hanyalah puncak gunung es dari budaya victim blaming yang cukup kuat terhadap korban tindak kekerasan seksual di Indonesia.

Upaya KPPPA dan Saran psikolog? Geser halaman selanjutnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI