Suara.com - Kotoran Sapi dan Kulit Binatang Jadi Alternatif Pembalut di Negara Miskin
Kondisi kemiskinan membuat begitu banyak perempuan di berbagai belahan dunia tidak memiliki akses terhadap produk sanitasi. Bahkan di Inggris, yang dikenal sebagai negara maju, 40 persen anak perempuan terpaksa menggunakan tisu toilet karena mereka tidak mampu membeli produk sanitasi.
Di bagian lain dunia, situasinya lebih mengerikan. Perempuan dan anak perempuan miskin harus menggunakan kulit binatang, kain, kotoran sapi kering, dan lainnya untuk keperluan tamu bulanan mereka.
Dilansir Metro, seorang perempuan dari Uganda mengatakan dia harus menggali lubang di tanah dan duduk di atasnya untuk mengalirkan darah menstruasinya. Beberapa dari mereka yang menstruasi bahkan tidak memiliki akses ke kebutuhan dasar seperti air bersih dan toilet.
Baca Juga: Trik Jitu Pramugari Bersihkan Tumpahan Air: Pakai Pembalut !
Hal ini membuat badan amal Water Aid mengumpulkan galeri foto untuk menunjukkan metode yang digunakan para perempuan ini untuk memberikan kita gambaran mengenai realitas kemiskinan.
Water Aid melaporkan bahwa satu dari sembilan orang tidak memiliki air bersih di dekat rumah mereka dan satu dari tiga orang tidak memiliki toilet yang layak. Sebagai bagian dari galeri, Water Aid berbicara dengan beberapa perempuan yang mengungkapkan metode apa yang mereka gunakan untuk kebutuhan sanitasi mereka.
Limpo, perempuan 22 tahun dari Zambia, menggunakan kotoran sapi kering. Dia memotongnya menjadi seperti kue kecil dan membungkusnya dengan kain.
"Saya tidak meletakkan kotoran sapi kering tersebut langsung ke kulit saya, saya membungkusnya dengan kain dan menempatkannya dengan baik untuk menampung aliran darah menstuasi tanpa menodai pakaian lain," katanya.
Lebih lanjut kata Limpo, dia suka metode ini karena kotoran sapi kering dapat menyerap banyak darah, membuatnya tidak kesulitan saat menstruasi.
Baca Juga: Bukan Pembalut, Remaja Ini Meninggal karena Mabuk Deodoran
"Setelah menyerap darah, saya dengan hati-hati membuangnya. Saya biasanya menggali lubang kecil di tanah dan menguburnya. alam budaya kita, laki-laki tidak diperbolehkan melihat hal-hal seperti itu," ungkap Limpo.
Berbeda dari Limpo, Lepera Joyce dari Uganda mengatakan dia menggunakan rok menstruasi dari kulit binatang.
"Suatu kali saya membeli sebungkus pembalut perempuan dari toko tetapi saya tidak menyukainya karena jika seseorang memiliki aliran darah yang deras ia dapat menggunakan lebih dari tiga pembalut dalam sehari dan harganya mahal," kata Lepera.
Apalagi, lanjut dia, pembalut di pasaran berukuran kecil, sehingga tidak menyerap semua darah. Sedangkan untuk rok dari kulit kambing, mereka dapat digunakan sepanjang hari.
Demikian pula, Sangita, dari Nepal, yang membuat pembalutnya sendiri.
"Pembalut di pasaran mahal dan jika Anda tidak membuangnya dengan benar, itu akan mencemari lingkungan. Di kota seperti kami di mana tidak ada rencana untuk mengelola limbah padat, pembalut semacam ini dapat mencemari sumber air kami juga jika tidak dibuang dengan benar," ungkap dia.
Jadi, melihat dampak yang lebih luas, Sangita membuat pembalut buatan sendiri yang lebih aman.
Water Aid mengatakan semua perempuan harus memiliki akses ke produk sanitasi yang bersih dan aman sebagai pilihan mereka. Badan amal ini mendesak pemerintah masing-masing negara untuk mengambil tindakan terhadap kemiskinan.
"Water Aid menyerukan kepada pemerintah di seluruh dunia untuk memprioritaskan sanitasi yang layak, air bersih, dan kebersihan yang baik di sekolah, rumah, dan tempat kerja, dan akses ke produk sanitasi untuk semua, untuk memastikan bahwa perempuan tidak dikecualikan dari masyarakat akan kebutuhan sebulan sekali mereka," tutup Water Aid.