Berbeda dari Limpo, Lepera Joyce dari Uganda mengatakan dia menggunakan rok menstruasi dari kulit binatang.
"Suatu kali saya membeli sebungkus pembalut perempuan dari toko tetapi saya tidak menyukainya karena jika seseorang memiliki aliran darah yang deras ia dapat menggunakan lebih dari tiga pembalut dalam sehari dan harganya mahal," kata Lepera.
Apalagi, lanjut dia, pembalut di pasaran berukuran kecil, sehingga tidak menyerap semua darah. Sedangkan untuk rok dari kulit kambing, mereka dapat digunakan sepanjang hari.

Demikian pula, Sangita, dari Nepal, yang membuat pembalutnya sendiri.
"Pembalut di pasaran mahal dan jika Anda tidak membuangnya dengan benar, itu akan mencemari lingkungan. Di kota seperti kami di mana tidak ada rencana untuk mengelola limbah padat, pembalut semacam ini dapat mencemari sumber air kami juga jika tidak dibuang dengan benar," ungkap dia.
Jadi, melihat dampak yang lebih luas, Sangita membuat pembalut buatan sendiri yang lebih aman.
Water Aid mengatakan semua perempuan harus memiliki akses ke produk sanitasi yang bersih dan aman sebagai pilihan mereka. Badan amal ini mendesak pemerintah masing-masing negara untuk mengambil tindakan terhadap kemiskinan.
"Water Aid menyerukan kepada pemerintah di seluruh dunia untuk memprioritaskan sanitasi yang layak, air bersih, dan kebersihan yang baik di sekolah, rumah, dan tempat kerja, dan akses ke produk sanitasi untuk semua, untuk memastikan bahwa perempuan tidak dikecualikan dari masyarakat akan kebutuhan sebulan sekali mereka," tutup Water Aid.
Baca Juga: Trik Jitu Pramugari Bersihkan Tumpahan Air: Pakai Pembalut !