Suara.com - Mengacu pada laporan masyarakat, menjelang pemillihan umum (pemilu), anak kerap dilibatkan dalam aktivitas kampanye politik. Informasi dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI, tahun 2014 ada 248 kasus dengan 15 jenis modus kampanye yang melibatkan anak.
Berdasarkan laporan tersebut, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bersama Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan KPAI membentuk komitmen bersama dalam menempatkan kepentingan terbaik bagi anak dalam pemilu tahun 2019.
“Kita bersama-sama membangun komitmen melalui deklarasi untuk perlindungan anak terutama di masa-masa kampanye politik. Anak yang berusia di bawah 18 tahun harus mendapatkan hak untuk perlindungan,” ujar Sekretaris Kemen PPPA, Pribudiarta N Sitepu, melalui teterangan pers yang diterima Suara.com
Pelibatan anak dalam kampanye bukan hanya merenggut hak anak tetapi juga sebuah bentuk eksploitasi terhadap anak. Di sisi lain, anak bahkan belum paham dengan makna politik.
Baca Juga: Teror Penembakan Massal di Stasiun Trem Utrech Belanda, 7 Korban
Ega Putri, seorang siswa SMA yang hadir dalam dekralasi “Kampanye Aman untuk Anak”, mengaku belum paham betul dengan politik. Sebagai anak yang belum cukup umur, ia juga tidak ingin terlibat dulu.
Pernyataan senada juga disampaikan Yudha (17), seorang anak dengan hambatan pendengaran yang hadir. “Kandidat politik tidak boleh mengajak anak-anak maupun merendahkan anak dengan merenggut hak anak. Anak-anak tidak usah terlibat dan diajak dalam politik,” ungkap Yudha menggunakan bahasa isyarat dibantu guru pendampingnya.