Suara.com - Masih jelas di ingatan kita terkait kebakaran hutan dan lahan yang terjadi 2015 lalu. Tidak kurang dari 2,6 juta hektare hutan dan lahan hangus terbakar, 35 persen di antaranya berasal dari ekosistem gambut. Bank Dunia menyebut bahwa bencana ini melumpuhkan kegiatan ekonomi dan pendidikan.
Tak cuma itu, Prof. Dr. Ir. H. Bambang Hero Saharjo, M.Agr, selaku Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan bahwa dampak lainnya yang harus disadari adalah kesehatan masyarakat yang terganggu. Asap yang membumbung tinggi dan menyekap pernapasan masyarakat dari bayi hingga lanjut usia sangat berbahaya karena puluhan gas yang terkandung di dalamnya.
Menurut hasil penelitian yang dipublikasikan pada jurnal internasional Atmospheric Chemistry and Physic tahun 2016 yang dilakukan di Kalimantan Tengah oleh beberapa universitas dari Amerika termasuk Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Bambang mendapati bahwa terdapat lebih dari 90 jenis gas yang terlepas ke udara selama kebakaran gambut berlangsung, dimana 50 persennya beracun ketika dihirup.
"Lalu, apa dampak nyata bahaya dari kandungan gas ini? Ribuan kasus gangguan kesehatan di antaranya mengidap pneumonia, asma, gangguan penglihatan, penyakit kulit, dan ISPA, serta ada pula yang meninggal," ujar Prof. Bambang dalam keterangan tertulisnya.
Baca Juga: Jokowi Tak Lagi Mendengar Keluhan Pemadaman Listrik, Benarkah?
Untuk memberikan gambaran mengenai betapa berbahayanya kandungan gas ini, Prof. Bambang mengingatkan kita pada kasus pembunuhan di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta yang menggunakan sianida. Bentuk lain dari senyawa ini adalah hidrogen sianida yang dihirup oleh jutaan masyarakat yang terkena dampak kebakaran hutan khususnya, pada areal bergambut.
"Efeknya memang tidak langsung membunuh tapi layaknya seperti bom waktu, mengintai dan siap meledak," imbuh dia.
Selain itu, kandungan gas ini juga akan mempengaruhi kesehatan jangka panjang masyarakat. Senyawa lain, furfuran atau furan, dapat berdampak buruk pada ibu hamil dengan mengakibatkan cacat janin atau yang lebih ekstrim adalah kematian janin yang dikandung oleh ibu yang menghirup senyawa ini dalam jumlah yang berbahaya.
"Kualitas udara di desa-desa sekitar kebakaran pada tahun 2015 melampaui angka 1.000 (bahkan ada yang mencapai 3.000) pada indeks s.tandar pencemaran udara (ISPU). Padahal, angka 300 saja sudah merupakan ambang bahaya," lanjut Prof Bambang.
Sebagai perbandingan, angka indeks standard pencemaran udara rerata di Jakarta selama tahun 2017 berada di kategori sedang dengan rentang ISPU di angka 51-101. Jadi bisa dibayangkan seberapa polutifnya asap hasil kebakaran hutan pada 2015 silam.
Baca Juga: Kebakaran Hutan dan Lahan di Riau Tembus 1.136 Hektare
Lalu mungkinkan mencegah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia? Prof. Bambang mengatakan bahwa saat ini mulai dari pemerintah pusat hingga daerah melakukan aksi sinergi untuk terus menekan angka probabilitas timbulnya kembali bencana asap ini.