Suara.com - Layanan Aborsi Aman untuk Korban Perkosaan, Mengapa Sulit Diakses?.
Sejak dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) yang melegalkan praktik aborsi untuk sebagian kondisi kehamilan di era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sejak itu pula sebenarnya pemerintah sudah membuka ruang kesempatan aborsi legal dan aman yang bisa diakses oleh korban perkosaan yang mengalami Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD).
PP Nomor 61 Tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi yang disahkan oleh Presiden SBY, merupakan pelaksanaan amanah Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. PP tersebut berisi bahwa tindakan aborsi dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan.
Penyelenggaraan pelayanan aborsi, jelas Bendahara Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Zumrotin K Soesilo, juga sudah diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2016, tentang Pelatihan dan Penyelenggaraan Pelayanan Aborsi.
Baca Juga: 7 Bulan Lawan Kanker Darah, Begini Kondisi Shakira Aurum Anak Denada
Di peraturan itu disebutkan, pelayanan aborsi atas indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan harus dilakukan dengan aman, bermutu, dan bertanggung jawab yang dilakukan oleh dokter sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional.
"Dijelaskan pula bahwa dokter yang melakukan aborsi harus mendapat pelatihan dari penyelenggara pelatihan yang terakreditasi dan tersertifikasi," ungkap Zumrotin pada Suara.com di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Sayangnya, menurut Ketua YKP, Herna Lestari, hingga saat ini negara belum mengimplementasikan layanan aborsi legal dan aman bagi kehamilan akibat perkosaan, sebagaimana yang telah diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Ini dikarenakan sejak 2014, sambung dia, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) belum pernah mempersiapkan persyaratan pelatihan terhadap tenaga medis, juga pelatihan konseling untuk aborsi bagi korban perkosaan yang mengalami KTD.
Sehingga sampai saat ini, Herna menambahkan, korban perkosaan yang mengalami KTD belum bisa mendapatkan pelayanan aborsi aman, karena belum adanya tenaga medis, serta tempat layanan resmi yang disediakan oleh Kemenkes.
Baca Juga: Kena Kanker, Perempuan Ini Dapat Lidah Baru yang Terbuat dari Kulit
Jika bisa dilaksanakan pun, tegas dia, ada sejumlah hal yang dinilai YKP belum efektif. Khususnya terkait hal yang tertulis pada Pasal 31 ayat 2 PP 61 Tahun 2014. Di mana disebutkan bahwa tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan bila kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
"Minimal mereka harus melapor saat enam minggu usia kehamilan yang dihitung dari menstruasi terakhir. Lebih dari enam minggu, maka perempuan tersebut tidak berhak. Bayangkan ini waktu yang sangat cepat sekali. Kebanyakan perempuan 'kan tidak sadar mereka hamil pada bulan pertama, dianggapnya ya memang biasa telat," ungkap Herna panjang lebar.
Maka, lanjut dia, jalan satu-satunya untuk mendapatkan layanan tersebut, saat mengalami perkosaan, perempuan harus segera melapor ke pihak berwajib untuk mendapatkan visum. Visum inilah, ungkap Herna, yang bisa menjadi media untuk perempuan tersebut melakukan aborsi di kemudian hari saat mengetahui dirinya hamil.
"Tentunya, ini tak semudah yang tertulis. Tidak semua korban perkosaan berani untuk melaporkan kasus yang mereka alami sesaat setelah kejadian," bebernya.
Kebanyakan, kata Herna, korban perkosaan malu untuk mengakui, belum lagi fisik dan mental yang masih terguncang yang tidak memungkinkan mereka untuk segera melaporkan.
Lantas, apa dampaknya bila korban perkosaan sulit mengakses layanan aborsi yang legal? Klik di halaman selanjutnya.