Ini Penyebab Prevalensi Perokok Anak Sulit Diturunkan

Kamis, 14 Februari 2019 | 22:12 WIB
Ini Penyebab Prevalensi Perokok Anak Sulit Diturunkan
Ilustrasi penyebab prevalensi perokok anak sulit diturunkan. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Ini Penyebab Prevalensi Perokok Anak Sulit Diturunkan.

Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dilakukan Kementerian Kesehatan, prevalensi perokok anak usia 10 hingga 18 tahun mencapai angka 9,1%. 

Angka tersebut terus naik karena jika dibandingkan dengan data Riskesdas 2013, prevalensi perokok pada kelompok usia yang sama ada diangka 7,9%.

Padahal target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN 2019 menargetkan tingkat perokok anak dikisaran angka 5,4%.

Baca Juga: Asus Fokus Pasarkan Laptop Berprosesor AMD di Indonesia pada 2019

Melihat tren tersebut, Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari menuding adanya usaha pencitraan produk rokok bahkan di kegiatan-kegiatan yang melibatkan anak. 

"Kalau begitu perokok anak bukannya turun malah menjadi meningkat," kata Lisda di hadapan wartawan, Kamis, (14/2/2019).

Senada dengan Yayasan Lentera Indonesia, Komisioner Bidang Kesehatan di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Siti Hikmawatty mengatakan bahwa industri rokok selalu mencitrakan bahwa produknya, secara spesifik, diperuntukkan bagi pemuda. 

"Tidak ada iklan rokok yang ditujukkan bagi orang usia 60 (tahun). Semua iklan rokok pasti ditujukkan bagi generasi muda," tambah Siti.

Pencitraan melalui pariwara atau usaha sponsorship pada kegiatan anak bukan satu-satunya cara bagaimana anak terpapar oleh informasi mengenai rokok.
 

Baca Juga: Prabowo Ditolak Salat Jumat, TKN Jokowi: Mungkin Khawatir Jamaah Membludak

Psikolog Liza Djaprie mengatakan bahwa dirinya juga merasa khawatir dengan budaya 'melumrahkan' rokok yang dilakukan masyarakat Indonesia.

Misal kata Liza, orangtua kerap merokok di depan anak atau meminta anak membeli rokok ke warung.

"Karena itu tanpa sadar, merupakan eksploitasi penanaman, cuci otak, bahwa orangtua merokok, artinya tidak apa-apa. Hal seperti itu yang harus diperangi," kata Liza.

Sementara masalah pencitraan lewat pariwara, Liza melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang 'susah diperangi'.

"Citra susah diperangi karena banyak orang yang tidak menyadari bahwa ini ada urusannya dengan rokok. Tapi buat orangtua yang sudah menyadari, ketika membawa anaknya ke dalam kegiatan (disponsori rokok) tahu bahwa anaknya dieksploitasi dan tahu anaknya jadi bahan marketing."

Meski tak semasif seperti merokok di depan anak atau usaha menjual rokok, pencitraan produk rokok pada kegiatan anak dianggap lebih mampu masuk ke alam bawah sadar anak, yang kemudian menganggap bahwa perusahaan rokok sebagai 'orang baik' dan merokok, adalah hal yang baik.

"Ini lebih efektif karena masuk ke dalam, langsung ke alam bawah sadar dan kemudian tinggal tunggu waktunya kapan berfungsi," tambahnya.

Untuk itu Liza menganggap pencitraan produk rokok pada kegiatan anak merupakan salah satu jenis eksploitasi psikologi.

"Sejauh ini UU kita hanya mengatur dua macam eksploitasi yaitu ekonomi dan seksual. Tapi juga ada eksploitasi verbal, ada eksploitasi psikologis. Ini sebenarnya lebih masuk eksploitasi psikologis," tutupnya.

Sebelumnya, beberapa pemerhati anak yang tergabung dalam Yayasan Lentera Anak dan KPAI menuding PT Djarum Tbk telah melakukan eksploitasi pada ribuan anak dengan dalih audisi beasiswa bulutangkis.

Siti Hikmawatty menggambarkan kegiatan CSR industri rokok sebagai 'topeng eksploitasi yang terselubung' karena menggunakan tubuh anak-anak sebagai medium marketing rokok yang kemudian dipaksa untuk mengenakan kaos bertuliskan nama produk selama audisi dan kompetisi bulutangkis berlangsung.

Sehingga industri rokok ganggu usaha pemerintah turunkan pravelensi perokok anak.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI