Psikolog Liza Djaprie mengatakan bahwa dirinya juga merasa khawatir dengan budaya 'melumrahkan' rokok yang dilakukan masyarakat Indonesia.
Misal kata Liza, orangtua kerap merokok di depan anak atau meminta anak membeli rokok ke warung.
"Karena itu tanpa sadar, merupakan eksploitasi penanaman, cuci otak, bahwa orangtua merokok, artinya tidak apa-apa. Hal seperti itu yang harus diperangi," kata Liza.
Sementara masalah pencitraan lewat pariwara, Liza melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang 'susah diperangi'.
Baca Juga: Asus Fokus Pasarkan Laptop Berprosesor AMD di Indonesia pada 2019
"Citra susah diperangi karena banyak orang yang tidak menyadari bahwa ini ada urusannya dengan rokok. Tapi buat orangtua yang sudah menyadari, ketika membawa anaknya ke dalam kegiatan (disponsori rokok) tahu bahwa anaknya dieksploitasi dan tahu anaknya jadi bahan marketing."
Meski tak semasif seperti merokok di depan anak atau usaha menjual rokok, pencitraan produk rokok pada kegiatan anak dianggap lebih mampu masuk ke alam bawah sadar anak, yang kemudian menganggap bahwa perusahaan rokok sebagai 'orang baik' dan merokok, adalah hal yang baik.
"Ini lebih efektif karena masuk ke dalam, langsung ke alam bawah sadar dan kemudian tinggal tunggu waktunya kapan berfungsi," tambahnya.
Untuk itu Liza menganggap pencitraan produk rokok pada kegiatan anak merupakan salah satu jenis eksploitasi psikologi.
"Sejauh ini UU kita hanya mengatur dua macam eksploitasi yaitu ekonomi dan seksual. Tapi juga ada eksploitasi verbal, ada eksploitasi psikologis. Ini sebenarnya lebih masuk eksploitasi psikologis," tutupnya.
Baca Juga: Prabowo Ditolak Salat Jumat, TKN Jokowi: Mungkin Khawatir Jamaah Membludak
Sebelumnya, beberapa pemerhati anak yang tergabung dalam Yayasan Lentera Anak dan KPAI menuding PT Djarum Tbk telah melakukan eksploitasi pada ribuan anak dengan dalih audisi beasiswa bulutangkis.
Siti Hikmawatty menggambarkan kegiatan CSR industri rokok sebagai 'topeng eksploitasi yang terselubung' karena menggunakan tubuh anak-anak sebagai medium marketing rokok yang kemudian dipaksa untuk mengenakan kaos bertuliskan nama produk selama audisi dan kompetisi bulutangkis berlangsung.
Sehingga industri rokok ganggu usaha pemerintah turunkan pravelensi perokok anak.