Suara.com - Seakan tak ada ujung, itulah kalimat yang pas untuk menggambarkan suasana perang di Palestina. Permasalahan yang telah mengakar sejak ratusan tahun lalu itu telah menjadi sorotan dunia, tak terkecuali Indonesia.
Sudah banyak kerugian materi dan nonmateri yang dialami rakyat Palestina. Kesehatan mereka pun tentunya menjadi masalah utama yang harus selalu diperhatikan.
Dilansir dari laman WHO, WHO dan mitra kesehatan lain membutuhkan setidaknya sebanyak 32 juta dolar AS untuk memenuhi kebutuhan kesehatan akut dari komunitas paling rentan di wilayah Palestina yang dijajah.
Sebanyak 1,2 juta warga Palestina membutuhkan bantuan kemanusiaan. Tanpa dana untuk intervensi, kesehatan mereka akan memburuk.
Sejak 30 Maret 2018, lebih dari 25.000 warga Palestina terluka dan lebih dari 250 orang tewas. Central Drug Store dari Kementerian Kesehatan di Gaza mengalami kekurangan paling parah pada obat-obatan esensial sejak tahun 2014.
Sekitar 52.000 orang, yang mana setengah dari mereka adalah anak-anak, membutuhkan pengobatan kesehatan mental dan dukungan psikososial sebagai akibat dari ketegangan yang terus berlangsung di Gaza.
Tak hanya itu, akses layanan kesehatan bagi warga Palestina di Tepi Barat juga terhambat. Hal itu dikarenakan jarak rumah sakit yang jauh dibarengi dengan terbatasnya transportasi, hambatan fisik, serta rezim zonasi yang diskriminatif.
''WHO dan mitra kesehatan kemanusiaan sedang berjuang untuk memenuhi kebutuhan kesehatan esensial dari orang-orang di wilayah Palestina yang dijajah. Kami prihatin bahwa tanpa dukungan dari komunitas pendonor internasional, ribuan warga Palestina tidak akan dapat mengakses layanan yang menyelamatkan jiwa,'' kata Dr Gerald Rockenschaub, Kepala kantor WHO untuk Tepi Barat dan Gaza.
Bagaimana dengan rencana kesehatan untuk tahun 2019 mendatang? Berikut ulasannya pada artikel berikut ini.