Suara.com - Sekitar 1 dari 4 anak perempuan di Indonesia menikah pada usia anak atau sebelum mencapai usia 18 tahun. Hal itu dikemukakan oleh Lenny N Rosalin, Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) dalam acara Dialog Publik dan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak di Jakarta, Selasa (18/12).
Tingginya angka perkawinan anak di Indonesia sudah pada tahap mengkhawatirkan. Indonesia menempati posisi ke-2 di ASEAN dan ke-7 di dunia sebagai negara dengan angka perkawinan anak paling tinggi. Tingginya angka tersebut harus segera disikapi oleh berbagai pihak terutama pemerintah agar tingkat perkawinan anak dapat diturunkan sesuai target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030.
“Dampak perkawinan anak terjadi pada anak lelaki dan perempuan. Namun anak perempuan lebih rentan mengalami kondisi tidak menguntungkan, seperti putus sekolah, hamil pada usia anak yang berpotensi menyumbang terjadinya komplikasi kesehatan reproduksi, angka kematian ibu (AKI), gizi buruk, stunting, pekerja anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian dan berujung pada pemiskinan perempuan secara struktural,” jelas Lenny N Rosalin melalui siaran persnya.
Keseluruhan tersebut menghambat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan juga capaian Sustainable Development Goals/SDGs. Untuk itulah, praktik perkawinan anak ini harus segera dihentikan. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan karena anak telah kehilangan hak-hak mereka yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Baca Juga: Ada Karakter Baru di Street Fighter V, Muncul Iblis Baru Ryu?
Jika kondisi ini dibiarkan akan menjadikan Indonesia berada dalam kondisi 'Darurat Perkawinan Anak'. Oleh karena itu, Kemen PPPA sejak tahun 2016 terus berkolaborasi dengan berbagai lembaga masyarakat, kementerian/lembaga, pemerintah daerah dan jaringan media mencetuskan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (GEBER PPA) sebagai upaya bersama untuk menekan angka perkawinan anak.
Menteri PPPA, Yohana Susana Yembise juga menyampaikan bahwa upaya gerakan bersama ditandai dengan hal yang membanggakan. Mahkamah Konstitusi pada Kamis, 13 Desember 2018, telah membacakan putusan atas pengujian Pasal 7 (1) UU Perkawinan mengenai batas usia anak dan memutuskan batas minimal usia perkawinan untuk perempuan harus dinaikkan dari sebelumnya 16 tahun.
“Putusan progresif ini tentu merupakan kemenangan perjuangan pencegahan perkawinan anak untuk anak-anak Indonesia. Dalam putusan ini juga mengamanatkan untuk pemerintah bersama pembentuk Undang-Undang diberi waktu 3 tahun melakukan upaya untuk melaksanakan putusan tersebut. Tentu kerja keras tersebut akan dilakukan bersama, meskipun terdapat banyak tantangan yang luar biasa untuk menghapus praktik perkawinan anak. Sebab, seperti disampaikan oleh Mahkamah Konstitusi, perkawinan anak adalah merupakan bentuk eksploitasi seksual pada anak dan inskonstitusional,” tutur Menteri Yohana.