Suara.com - Ditemukannya obat antibiotik cukup membawa manfaat besar bagi kehidupan manusia di seluruh dunia.
Tapi jika salah menggunakan, malah musibah yang muncul. Tak bijak mengonsumsi antibiotik bisa menyebabkan resistensi antimikroba pada tubuh.
Dalam acara Pekan Kesadaran Antibiotik Sedunia di Universitas Brawijaya, Malang, Sabtu (17/11/2018) lalu, seorang Dokter Spesialis Anak sekaligus perwakilan Yayasan Orang Tua Peduli (YOP), dr. Yulianto Santoso mengatakan bahwa dirinya sering menghadapi pasien yang tidak bisa disembuhkan, bahkan hingga meninggal lantaran obat yang diberikan tak lagi mempan membunuh bakteri.
Menurut dia, hal itu terjadi karena resistensi antimikroba. Prilaku petugas kesehatan, termasuk kemudahan masyarakat untuk membeli antibiotik jadi pemicunya.
Baca Juga: Akui Sulit Lawan Italia, Santos Tetap Puas Portugal Melaju
"Kita pernah melakukan survei yang hasilnya menyatakan dari tahun ke tahun penggunaan antibiotik untuk batuk pilek dan diare tetap tinggi yaitu sekitar 60 persen. Ke puskesmas orang sakit karena batuk pilek, juga dikasih antibiotik. Kalau tidak dikendalikan, 10 juta jiwa akan meninggal setiap tahun pada 2050. Itu berarti setiap satu menit, ada 19 kematian akibat infeksi bakteri yang tidak bisa disembuhkan" kata Yulianto.
Selain Yulianto dari YOP, acara tersebut juga dihadiri oleh perwakilan Kemenko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Kementerian Pertanian (Kementan), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Indonesian One Health University Network (INDOHUN).
Kementerian dan organisasi lintas sektor tersebut berkumpul untuk sama-sama meningkatkan kesadaran mengenai bahaya resistensi antimikroba serta ancaman penyakit infeksi baru (PIB).
Dalam sambutannya, Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Kementerian Pertanian, Syamsul Ma'arif, mengatakan bahwa resistensi antimikroba diprediksi akan menjadi pembunuh nomor 1 di dunia pada 2050.
Di tahun yang sama, ujar dia, diperkirakan kematian mencapai 10 juta orang per tahun dan angka tertinggi terjadi di Asia.
Baca Juga: Ditutup Antisipasi Kekhalifahan, Monas akan Dibuka Minggu Siang
"Karena itu, kita semua berkumpul di sini. Mengajak untuk sama-sama memerangi laju resistensi antimikroba dan mengendalikan penyakit infeksi baru. Terutama bagi adik-adik kita yang akan lulus dari Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Kesehatan Masyarakat serta fakultas teknis lainnya agar bisa menjadi agen perubahan untuk mencapai kesehatan masyarakat, kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan yang optimal," kata Syamsul Ma'arif.
Sementara itu Kemenko PMK dalam paparanya menyebutkan bahwa para pakar kesehatan hewan dunia telah mengelompokan pathogen (kuman berbahaya penyebab penyakit) dari 3 area, yaitu 1.415 pathogen pada manusia, 372 pathogen pada karnivora domestik (anjing,kuncing) dan 616 pathogen penyakit pada ternak.
"Dalam dekade terakhir wabah akibat virus menjadi sorotan dunia seperti virus flu H1N1, Ebola, Mers-CoV dan Zika. Namun ternyata perubahan karakter pathogen juga sedang terjadi pada bakteri, yang secara terus menerus bertambah kebal dari berbagai golongan antibiotik," ujar Rama Fauzi perwakilan Kemenko PMK.