Suara.com - Penyakit gagal ginjal selama ini ditangani dengan terapi dialisis yang meliputi hemodialisis (HD), Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) maupun transplantasi ginjal, diantara ketiga jenis terapi ini, metode CAPD disebut-sebut lebih efektif secara biaya dan juga hasil pengobatan.
Disampaikan Ketua Pusat Kajian Kebijakan dan Ekonomi Kesehatan (PKKEK) FKM UI, Prof Budi Hidayat SKM MPPM PhD mengatakan, anggapan ini diperkuat dengan hasil studi dari Komite Penilaian Teknologi Kesehatan (KPTK) Kementerian Kesehatan (Kemkes) dan PKEKK FKM UI yang menyebut CAPD lebih efektif dari segi biaya dibanding metode cuci darah atau hemodialisis.
"Fakta bahwa CAPD lebih cost efficient dibandingkan HD, dan juga meningkatkan kualitas hidup pasien. Pada kenyataannya, jumlah pasien CAPD hanya 3 persen dari total 95 persen pasien yang menjalani HD," ujar Budi dalam pertemuan InaHEA di Jakarta, Rabu (31/10/2018).
Meski demikian Budi menambahkan, ada beberapa hal yang menjadi akar permasalahan penanganan gagal ginjal melalui metode CAPD, yakni meski ditanggung BPJS, namun tidak ada intervensi sistem insentif dalam skema pembayaran.
Baca Juga: MSI Perkenalkan P65 Creator di Indocomtech 2018
Kedua, rendahnya suplai cairan CAPD akibat monopoli yang terjadi oleh satu pemasok, yaitu Baxter. Saat ini, Fresenius Medical Care sebagai penyedia masih menunggu nomor registrasi cairan CAPD dikeluarkan oleh BPOM. Ketiga, rendahnya edukasi mengenai CAPD terhadap pasien.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri), dr Aida Lydia PhD Sp PD-KGH sependapat dengan Budi. Menurutnya masih banyak yang perlu dibenahi khususnya kemudahan bagi pasien dialisis mendapatkan layanan yang berkualitas baik melalui hemodialisis maupun CAPD sebagai salah satu alternatif terapi pengganti ginjal yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien GGK dan menjadi solusi pengendalian biaya kesehatan negara.
"Saat ini hanya ada satu penyedia CAPD di Indonesia. Ditambah dengan belum siapnya sistem distribusi dan rendahnya edukasi baik kepada pasien dan dokter menyebabkan pertumbuhan jumlah pasien CAPD dari tahun ke tahun sangat lambat," tambah dia.
Kenyataan ini diperkuat dengan data IRR edisi 10 tahun 2017 yang baru saja diluncurkan oleh Pernefri Oktober 2018, pertumbuhan CAPD dari tahun ke tahun menunjukkan pada tahun 2015 sejumlah 1674 pasien, 2016 menurun menjadi 1594, dan di tahun 2017 tercatat 1737 pasien.
Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemkes, dr Tri Hesty Widyastoeti SpM MPH menambahkan, saat ini pihaknya sedang menjalankan sebuah uji coba peningkatan cakupan pelayanan CAPD di Jawa Barat, yang hasilnya diharapkan di akhir tahun 2018 dan dapat menjadi sebuah rujukan untuk kebijakan nasional.
Baca Juga: DPR Setuju 55 RUU Masuk dalam Prolegnas Prioritas 2019
"Program yang kami inisiasi ini diharapkan dapat menjadi salah satu solusi pengendalian biaya hemodialisa. Target kami adalah meningkatkan jumlah pasien CAPD dari 3 persen menjadi 30 persen," tandas dia.