Suara.com - Perilaku buang air besar atau BAB sembarangan masih sulit diberantas di Indonesia. Hal ini terlihat dari data terkini yang dihimpum e-monev STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat). Disampaikan Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat Kemenkes, dr. Kirana Pritasari, MQIH, baru satu provinsi dan 23 kabupaten kota yang dinyatakan 100 persen bebas dari perilaku buang air besar sembarangan, yaitu DI Yogyakarta.
Sementara untuk kabupaten yang telah bebas dari perilaku BAB sembarangan, antara lain Sukoharjo, Karanganyar, Kabupaten Semarang, Kota Semarang, Wonogiri, Boyolali, Grobogan, Ngawi, Pacitan, Madiun, Magetan, Pare-pare, Banda Aceh, Gunung Kidul, Bantul, Sleman, Yogyakarta, Sumbawa Barat, Alor, Kupang, Lamongan, Kulonprogo, dan Pringsewu.
"Sementara untuk daerah lainnya sudah menuju, tapi belum mencapai 100 persen. Saya kira persoalannya adalah tentang akses itu sendiri. Semoga provinsi dan kabupaten lainnya bisa segera menyusul sehingga pada 2030 target kita untuk 100 persen bebas BAB sembarangan bisa tercapai," ujar dr. Kirana dalam pemberian penghargaan di Kementerian Kesehatan, Kamis (18/10/2018).
Sementara itu, Papua dan Papua Barat masih menempati posisi terbawah provinsi dengan perilaku BAB sembarangan. Akses air bersih yang sulit dan faktor budaya memainkan peran dalam memicu hal ini.
Baca Juga: Aplikasi Live Streaming Ini Incar Bakat Terpendam
"Jadi tidak hanya peran pemerintah saja, masyarakat juga kita edukasi untuk membuat jamban mandiri. Kita harap pemerataan dalam hal sanitasi bisa menurunkan kasus kematian akibat diare dan stunting yang masih tinggi di Indonesia," tambah Kirana.
Pemerintah Indonesia, kata Kirana, telah menetapkan kebijakan nasional pembangunan air minum dan sanitasi yang tertuang dalam Peraturan Presiden nomor 185 tahun 2014 tentang Percepatan Penyediaan Air Minum dan sanitasi sebagai upaya untuk mencapai akses universal pada akhir tahun 2019.
Untuk mewujudkannya, Kemenkes dan beberapa kementerian lain serta mitra lain meluncurkan pendekatan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) pada 2008. Ada 5 pilar STBM, yaitu stop BAB sembarangan, cuci tangan pakai sabun, pengelolaan air minum dan makanan, pengelolaan sampah, dan pengelolaan limbah cair.
Studi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2007 menunjukkan jika setiap anggota keluarga dalam suatu komunitas melakukan 5 pilar STBM, maka akan dapat menurunkan angka kejadian diare sebesar 94 persen. Penyakit akibat sanitasi yang buruk seperti gangguan saluran pencernaan membuat energi untuk pertumbuhan tubuh menjadi teralihkan, sehingga tubuh kurang mempu menghadapi penyakit infeksi.
Sanitasi juga berkaitan erat dengan stunting. Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menyatakan 1 dari 3 anak Indonesia menderita stunting. Akses terhadap sanitasi yang baik berkontribusi dalam penurunan stunting sebesar 27 persen.
Baca Juga: Penjelasan Puslabfor Soal Hilangnya 1 Peluru Nyasar di Gedung DPR
"Jika intervensi yang terfokus pada perubahan perilaku dalam sanitasi dan kebersihan dapat menyebabkan potensi stunting berkurang," tambah Kirana.
Sanitasi buruk tidak hanya berpengaruh pada kesehatan, tapi juga pada ekonomi negara. Indonesia mengalami kerugian ekonomi sebesar 56,7 triliun per tahun akibat kondisi sanitasi yang buruk untuk membayar ongkos pengobatan dan akomodasi.