Suara.com - Sebagai negara kepulauan, Indonesia dikelilingi oleh perairan. Hal ini membuat negara kita memiliki pasokan ikan yang melimpah. Namun sayangnya, data yang dihimpun Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) selama 2017, menyebut bahwa tingkat konsumsi ikan di Indonesia baru mencapai 47,35 kilogram per kapita per tahun.
Angka ini relatif rendah dibandingkan negara maju, misalnya Singapura 80 kilogram per kapita per tahun, Malaysia 70 kilogram per kapita per tahun, dan Jepang yang mencapai hampir 100 kilogram per kapita per tahun.
Konsumsi ikan yang rendah ini turut memengaruhi tingginya angka stunting yang masih membayangi Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan prevalensi balita (bawah lima tahun) stunting di Indonesia mencapai 37 persen.
"Ironinya, ikan sebagai sumber protein yang berlimpah di Indonesia, tidak dimakan sama ibu hamil. Justru ikan asin yang nutrisinya sudah tidak ada tapi tinggi garam yang dikonsumsi. Ini PR kita bersama untuk menggalakkan makan ikan untuk mengatasi stunting," ujar Doddy Izwardy, Direktur Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan RI dalam Peluncuran Jejaring I-PLAN, Kamis (11/10/2018).
Baca Juga: Diduga Cabuli Anak Tetangga, Pendeta di Ambon Dituntut 10 Tahun
Doddy menambahkan, kampanye untuk mengonsumsi ikan sebagai sumber protein tak hanya digalakkan untuk ibu hamil sebagai upaya pencegahan stunting, namun juga pada remaja di Indonesia. Menurut dia, konsumsi tablet tambah darah yang digaungkan saat hamil tidak akan berfungsi jika tanpa disertai asupan protein.
"Ikan itu sumber protein yang lengkap dan enak. Cuma memang sekarang orang terbiasa makannya yang cepat saji, yang olahan, tapi nutrisinya nggak ada. Jadi memang kita harus berikan pemahaman bahwa konsumsilah ikan sebagai sumber protein yang murah dan lengkap," tambah Doddy.
Namun upaya pencegahan stunting dengan mengonsumsi ikan harus dihadapkan dengan masalah kerugian pangan pascapanen ikan yang mencapai 75 ribu-125 ribu ton per tahun karena rusak. Jika dikonversikan dengan protein, kerusakan ikan ini menyebabkan hilangnya asupan protein sebesar 16.500 - 27.500 ton per tahun yang seharusnya dapat memenuhi kebutuhan 2,7 -4,.4 juta anak.
Menurut Ravi Menon, Country Manager GAIN untuk Indonesia, kerugian pangan pascapanen ikan segar ini disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya karena rendahnya penerapan pascapanen yang baik sehingga kualitas ikan untuk konsumsi masyarakat pun terbilang masih rendah.
"Saat ini teknologi yang tepat untuk menyimpan, memasarkan, dan mendistribusikan ikan masih kurang di Indonesia. Itu sebabnya kami mencari solusi dengan mengadakan kompetisi ide teknologi atau inovasi baru yang dapat diadopsi oleh pelaku rantai pasokan ikan segar lokal untuk mengurangi kerugian pangan pascapanen bertajuk Innovation Challenge," tandas Menon.
Baca Juga: Tiru Donald Trump, Prabowo: Make Indonesia Great Again!