Jika Dibiarkan, Anak Picky Eater Berisiko Stunting

Sabtu, 06 Oktober 2018 | 12:19 WIB
Jika Dibiarkan, Anak Picky Eater Berisiko Stunting
Anak picky eater berisiko alami stunting. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di usia prasekolah, anak bisa sangat memilih-milih makanan, atau biasa disebut picky eater. Pakar menyebut anak yang picky eater memiliki risiko tinggi mengalami stunting.

Disampaikan Prof. Dr. Rini Sekartini, SpA, anak yang pemilih atau juga disebut picky eater ini akan mengalami kesulitan makan jika tidak segera diatasi.

"Anak yang suka pilih-pilih makanan atau hanya mau makanan tertentu sering disebut picky eater. Sebagian besar ibu mungkin anaknya pernah mengalaminya. Anak biasanya hanya mau makan makanan tertentu, sering tutup mulut menolak makanan yang diberikan, bahkan sampai nangis terus-menerus," ujar Prof. Rini.

Picky eater sendiri tambah Prof Rini bisa ditandai dengan keengganan anak mencoba jenis makanan baru, pembatasan terhadap jenis makanan tertentu terutama sayur dan buah, dan secara ekstrim tidak tertarik terhadap makanan dengan berbagai cara yang dilakukan, yaitu menampik makanan yang tidak dia sukai, mengemut makanan, dan menutup mulut dengan rapat pada saat menghadapi makanan yang tidak dia sukai.

Baca Juga: Andi Soraya Rela Tinggalkan Dunia Hiburan demi Urus Anak

Pada usia prasekolah, anak akan mengalami perkembangan psikologis menjadi lebih mandiri, dapat berinteraksi dengan lingkungannya, serta lebih mampu mengekspresikan emosinya. Bentuk luapan emosi yang biasa terjadi adalah menangis atau menjerit ketika anak tidak merasa nyaman. Sifat perkembangan yang terbentuk ini dapat memengaruhi pola makan anak.

Hal tersebut menyebabkan anak terkadang bersikap terlalu pemilih, misalnya cenderung menyukai makanan ringan, sehingga menjadi kenyang dan menolak makan saat waktu jam makan. Anak juga sering rewel dan memilih bermain saat orangtua menyuapi makanan.

Penelitian yang dilakukan Sudibyo Supardi dari National Institute of Health Research and Development terhadap anak prasekolah di Jakarta tahun 2015 menunjukkan hasil prevalensi kesulitan makan sebesar 33,6 persen.

Masih dalam penelitian tersebut, kebanyakan kasus sulit makan berupa menghabiskan makanan kurang dari sepertiga porsi (27,5 persen), menolak makan (24,8 persen), anak rewel dan merasa tidak senang atau marah (22,9 persen), hanya menyukai satu jenis makanan (7,3 persen), hanya mau minum susu (18,3 persen), memerlukan waktu lebih dari satu jam untuk makan (19,3 persen), dan mengemut (15,6 persen).

Adapun sebanyak 50 persen anak yang mengalami susah makan memiliki keluhan gangguan kenaikan berat badan, 22 persen rewel, 12 persen nyeri epigastrium, 10 persen back arching, dan 6 persen nyeri menelan serta sering muntah.

Baca Juga: 500 Warga Makassar Tertipu Hoaks Adopsi Anak Korban Gempa Sulteng

Biasanya, tambah Prof Rini anak yang picky eater akan mengalami beberapa gejala seperti pertumbuhan tubuh terhenti, perubahan perilaku, lesu, kehilangan selera makan, dan kekurangan berat badan.

Kondisi ini bisa mengganggu kesehatan anak. Namun sayangnya, banyak orang tua yang salah kaprah menyiasati picky eater dengan memberikan susu sebagai solusi. Padahal, susu sebetulnya hanya sebagai pelengkap.

"Susu itu salah satu asupan makanan untuk anak pada masa bayi, terutama 6 bulan pertama ASI merupakan makanan utama bayi. Setelah 6 bulan, anak akan diberi MPASI (Makanan Pendamping ASI) sebagai pelengkap karena kebutuhan anak meningkat. Setelah 1 tahun anak dapat diberikan makanan keluarga, berupa nasi lauk pauk, sayur dan buah plus susu sebagai pelengkap," tambah dia.

Perlu diketahui bahwa susu memang kaya gizi, tapi kandungan zat besi di dalamnya biasanya kurang optimal. Dalam 1.000 cc susu hanya mengandung 0,5-2 miligram zat besi. Sedangkan bayi 1 tahun saja butuh 6 gram zat besi setiap hari.

Itulah mengapa sebaiknya orang tua tidak hanya mengandalkan susu untuk memenuhi kecukupan gizi anak. Berikan makanan seimbang yang kaya nutrisi, termasuk kecukupan zat besi di setiap usia.

"Pada usia balita kebutuhan susu sekitar 500-600 cc per hari. Selebihnya, anak harus makan. Jadi, susu tidak dapat menggantikan makanan yang harus dikonsumsi anak," tegas Prof. Rini.

Prof. Rini melanjutkan, biasanya kondisi picky eater disebabkan kurangnya variasi makanan anak. Anak tidak boleh memilih makanan yang disukai, suasana di rumah tidak menyenangkan, kurang perhatian orangtua, atau contoh yang kurang baik dari orangtua.

Psikolog anak Tari Sanjojo menyarankan orang tua untuk tidak panik menghadapi gejala picky eater, namun juga tidak boleh menganggap sepele gejala pilih-pilih makan ini. Picky eater bila tidak diatasi dengan tepat dapat menyebabkan anak menjadi malas makan dan pada kelanjutannya menyebabkan anak menjadi cepat lesu, tidak bersemangat, kurang konsentrasi, bahkan sakit.

Kondisi ini sangat mengganggu aktivitas fisik anak. Seharusnya anak bersemangat mengeksplorasi banyak hal agar tumbuh sehat dan cerdas. Picky eater juga bisa menyebabkan anak terasingkan dari pergaulannya karena ia pilih-pilih makan.

"Pergaulan kan sering melibatkan makanan atau aktivitas makan bersama. Kan sayang kalau anak susah makan nanti dia jadi malas bergaul dengan teman-temannya hanya karena tidak suka makanan yang disajikan," tambah Tari.

Stunting sendiri merupakan kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi dalam waktu yang lama. Sehingga, anak lebih pendek dari anak normal seusianya dan memiliki keterlambatan dalam berpikir. Pemantauan Status Gizi (PSG) 2017 menunjukkan prevalensi Balita stunting di Indonesia masih tinggi, yakni 29,6 persen di atas batasan yang ditetapkan WHO (20 persen).

Penelitian Ricardo dalam Bhutta tahun 2013 menyebutkan, balita stunting berkontribusi terhadap 1,5 juta (15 persen) kematian anak balita di dunia dan menyebabkan 55 juta anak kehilangan masa hidup sehat setiap tahun.

Kekurangan gizi dalam waktu lama itu terjadi sejak janin dalam kandungan sampai awal kehidupan anak (1.000 Hari Pertama Kelahiran). Penyebabnya karena rendahnya akses terhadap makanan bergizi, rendahnya asupan vitamin dan mineral, buruknya keragaman pangan dan sumber protein hewani, dan diperparah dengan gelaja picky eater.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI