Suara.com - Menteri Kesehatan RI, Nila Moeloek mengatakan tuberkulosis (TBC) membunuh 1,7 juta jiwa lebih banyak daripada AIDS dan Malaria. TBC tidak mudah ditangani, untuk itu perlu peran berbagai sektor untuk penanganannya.
Hal itu disampaikan Menkes dalam diskusi bersama Forum Stop TB Partnership Indonesia (FSTPI), WHO Global TB Program dan Stop TB Partnership Global di The Roosevelt Hotel, New york, Senin (24/9/2018) lalu.
Pertemuan ini merupakan langkah pertama diskusi untuk persiapan berbagai sektor untuk sama-sama mengeliminasi TBC yang diprediksi meluas pada tahun 2030.
“Seluruh sektor perlu dilibatkan, harmonisasi program agar visi misi sama dan pemerintah sudah menjadikan TBC sebagai salah satu prioritas Nasional dalam Renstra dan menjadikan TBC sebagai indikator PISPK dan Standar Pelayanan Minimal,” kata Nila Moeloek, dalam rilis yang diterima detikHealth.
Baca Juga: Bahas TBC, Perwakilan Indonesia Hadir di Sidang Umum PBB
Dampak TBC sangat besar dan tersebar luas. Diperkirakan mortalitas akibat TBC telah menyebabkan kerugian $ 616 miliar dalam periode 2000-2015. Dalam jangka panjang, TBC juga dapat menyebabkan kerugian lebih lanjut sebesar US $ 984 miliar secara global.
“Kita tahu bahwa TBC tidak pernah menjadi masalah yang sederhana dan mudah terutama dari sudut bagian termiskin dan terabaikan di dunia. Jelas bahwa TBC bukan hanya masalah kesehatan, tetapi membutuhkan pendekatan multidimensi untuk akhirnya dihilangkan,” ucap Nila Moeloek lagi.
Untuk mengakhiri TBC pada tahun 2030, tambah Nila Moeloek, pemerintah tidak dapat bekerja sendiri. Butuh komitmen yang kuat dan tindakan dari semua sektor.
Langkah bersama yang dapat dilakukan menuju tahap eliminasi TBC, yakni, pertama, salah satu opsi yang dapat dipertimbangkan adalah pembiayaan alternatif yang memungkinkan kombinasi negara dan donor atau sumber daya swasta harus dieksplorasi bersama di antara para pelaku yang berbeda.
Kedua, adanya kerja sama lintas sektor. Eliminasi TBC harus melibatkan komitmen jangka panjang dari semua sektor. Masyarakat misalnya, mereka dapat menjadi jembatan untuk mengakhiri TBC. Sementara pada saat yang sama bekerja erat dengan pemerintah dan akademisi dan sektor lain, sehingga akan menurunkan lebih cepat kasus TBC.
Baca Juga: Waspada, TBC Juga Bisa Menyerang Alat Kelamin! Ini Gejalanya
Ketiga, bekerja erat dengan pemerintah dalam menangani keragaman dan kompleksitas kasus TBC. Ada peraturan nasional yang tersedia untuk memastikan keberhasilan kolaborasi yang lebih kuat antar pemerintah, seperti Instruksi Presiden tentang Germas, Keputusan Menteri tentang PIS-PK, dan juga Standar Pelayanan Kesehatan Minimum.
“Semua itu adalah tiga peraturan strategis yang harus kita semua manfaatkan secara optimal,” kata Nila Moeloek.
Selain itu, Ketua FSTPI Arifin Panigoro pada sambutannya menyampaikan Indonesia harus belajar dari negara yang sudah berhasil menanggulangi TBC. Eliminasi TBC tidak mungkin tercapai tanpa mobilisasi sumber daya yang masif, efektif dan efisien. Hanya tinggal 12 tahun sebelum 2030, tetapi situasi TBC di banyak negara tidak memiliki kemajuan yang signifikan.
“Sudah saatnya kita merangkul lebih banyak pihak, karena permasalahan TBC menyentuh jauh lebih luas dari kesehatan,” katanya.
FSTPI, tambah Arifin, telah berinisiatif memetakan seluruh pemangku kepentingan relevan dan mengidentifikasi potensi peran masing-masing secara komprehensif. Ia menambahkan bahwa kemitraan lintas sektor dapat dilakukan melalui berbagi ilmu dan teknologi, cara manajemen yang efisien, pengembangan inovasi, serta mekanisme pendanaan yang stabil.
Melalui acara ini, diharapkan pihak nasional maupun internasional akan meningkatkan kolaborasi lintas sektor dan multi aktor untuk mendorong inovasi dan mengakselerasi upaya eliminasi TBC. Komitmen global perlu diterjemahkan juga oleh masing-masing pihak terkait ke dalam aksi-aksi nyata di setiap level pemerintahan, mengedepankan prinsip kemitraan sejajar yang disepakati dalam dialog sebagai kunci untuk mengakhiri TBC.
Pada diskusi dalam kegiatan ini, Menkes mengharapakan Dirjen P2P dapat menindaklanjuti FSTPI untuk lebih banyak lagi melibatkan pihak swasta, utamanya yang bergerak dibidang non kesehatan, untuk mendukung pembiayaan operasional Pengendalian TBC yang tidak bisa masuk dalam pembiayaan pemerintah sektor kesehatan, antara lain bantuan biaya hidup bagi penderita MDR, perbaikan kualitas permukiman penderita TBC serta bantuan biaya transportasi untuk pengambilan obat dan sputum.