Suara.com - Baru-baru ini, Indonesia kembali dikejutkan dengan kejadian perokok batita berinisial RAP yang masih berusia 2 tahun asal Cibadak, Sukabumi. Ketua Tobacco Control Support Center (TCSC) dari Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), dr. Sumarjati Arjoso mengatakan, merokok memiliki korelasi dengan masalah kurang gizi atau stunting. Uniknya, 60 persen perokok di Indonesia datang dari kalangan kurang mampu atau miskin.
"Usianya semakin kecil dari tadinya usia Sekolah Dasar jadi anak usia 2 tahun seperti RAP ini. Ini darurat," kata Sumarjati.
"Data dari Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) menyatakan keluarga miskin saja masih merokok. Tentunya uang beli rokok bisa lebih dari uang pembelian gizi untuk anak," katanya saat ditemui Suara.com dalam acara 'Baby Smoker Masih Tetap Ada' di Jakarta, baru-baru ini.
Karena itu juga, kebiasaan merokok dianggap memiliki korelasi erat dengan kejadian stunting pada anak.
Baca Juga: Bola Voli Putra: Meski Menang, Arab Saudi Diganjar Kartu Merah
"Apalagi kalau memulai merokok dari ibu hamil. Bayi dalam kandungan pasti penyerapan zat gizinya akan terlambat, jadi berat badan lahir (BBL) rendah dan pada akhirnya, penyerapan gizi akan terganggu dan terjadi stunting," katanya lagi.
Hal yang lebih mengkhawatirkan lagi, angka konsumsi rokok pada anak-anak Indonesia juga semakin tinggi.
Pada 1995 misalnya, ada 9.6 persen anak usia 5-14 tahun yang mulai mencoba merokok. Namun angka tersebut naik drastis pada 2010 dengan 19.2 persen anak usia 5-14 tahun sudah mulai mencoba merokok. Parahnya lagi usia perokok pemula pada 2018 naik menjadi anak usia 2 tahun.
Ia menduga kebiasaan seperti membuang puntung rokok sembarangan, merokok dekat anak-anak, penjualan rokok tanpa batas, dan iklan rokok yang masif masih menjadi penyebab mengapa semakin tingginya angka perokok pemula.
"Untuk itu pemerintah harus segera membuat aturan yang tegas agar menghambat munculnya baby smoker baru," tegasnya.