BPJS Terapkan Aturan Baru, Ikatan Dokter Indonesia Menyayangkan

Kamis, 02 Agustus 2018 | 12:45 WIB
BPJS Terapkan Aturan Baru, Ikatan Dokter Indonesia Menyayangkan
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyoal keberadaan BPJS Kesehatan [Suara.com/Firsta Nodia].
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sejak 21 Juli 2018 lalu BPJS Kesehatan melalui Surat Dirut BPJS Kesehatan Nomor 8920/1.2/0718 mengeluarkan Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan yang ditentang oleh berbagai pihak termasuk Ikatan Dokter Indonesia.

Peraturan no. 2, 3 dan 5 tahun 2018 yang ditentang ini menyebut bayi baru lahir dengan kondisi sehat post operasi caesar maupun per vagina dengan atau tanpa penyulit dibayar dalam 1 paket persalinan.

Selain itu, penderita katarak hanya dijamin BPJS Kesehatan apabila visus kurang dari 6/18 dan jumlah operasi katarak dibatasi dengan kuota. Begitu juga dengan tindakan rehabilitasi medis yang kini dibatasi maksimal 2 kali per minggu.

Dalam temu media di Kantor Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Prof. dr. Ilham Oetama Marsis SpOG selaku Ketua IDI mengatakan bahwa pembatasan manfaat yang diterapkan BPJS Kesehatan mengorbankan keselamatan pasien, mutu Iayanan kesehatan, dan kepentingan masyarakat.

Baca Juga: Misteri Penemuan 14 Kg Ganja Tak Bertuan di Markas TNI AU Bogor

"Melihat peraturan yang diterbitkan memang peraturan yang bersifat internal. Tetapi kalau kita kaji dampaknya dalam sistem pelayanan terutama dalam pembayaran akan membuat masalah. Contohnya RS yang tetap melayani, begitu melakukan klaim ke BPJS tentunya klaim ini akan ditolak," ujar Prof Marsis di Jakarta, Kamis (02/08/2018).

Ia mencontohkan, beberapa rumah sakit di daerah seperti Probolinggo dan Aceh merespon peraturan ini dengan tidak memberikan pelayanan JKN terkait bayi baru lahir, operasi katarak dan tindakan rehabilitasi medik. Hal ini pada gilirannya berdampak pada pelayanan kesehatan yang diberikan rumah sakit pada pasien.

"Ini akan terjadi suatu masalah antara rumah sakit dengan masyarakat. Akan timbul masalah kepuasan dalam pelayanan JKN," tambah Prof Marsis.

Prof Marsis pun menyebut keberadaan BPJS Kesehatan selama empat tahun ini belum menunjukkan kinerja positif. Dalam melakukan upaya efisiensi, BPJS Kesehatan, kata dia, seyogyanya tidak mengorbankan mutu pelayanan dan membahayakan keselamatan pasien.

"Kalau saya melihat tidak ada kinerja positif dari BPJS Kesehatan. Kinerja positif hanya angka cakupan sudah sampai 80 persen tapi mereka tidak memikirkan operasional penarikan iuran dengan baik. Ini mengakibatkan defisit semakin besar. Kalau mau BPJS bertahan atau menghasilkan hasil maka harus berubah sistem jaminan kesehatannya terutama soal iuran," tandas dia.

Baca Juga: Make-up Terbaru Pixy Tonjolkan Kecantikan Perempuan Indonesia

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI