Perkawinan Anak Dapat Merugikan Ekonomi Dunia

Minggu, 01 Juli 2018 | 07:12 WIB
Perkawinan Anak Dapat Merugikan Ekonomi Dunia
Ilustrasi pengantin usia belia. [Shutterstock]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Belum lama ini masyarakat Indonesia dikejutkan dengan pernikahan antara anak berusia 15 dan 14 tahun asal Bantaeng, Sulawesi Selatan. Keduanya ngotot ingin menikah pada usia sangat belia karena alasan cinta dan takdir. Hal tersebut tentu saja membuat heboh masyarakat, terutama para aktivis penggiat anti perkawinan anak.

Diatur dalam pasal 7 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, batas usia menikah di Indonesia adalah 19 tahun untuk lelaki dan 16 tahun untuk perempuan.

Budi Kurniawan, Project Manager gerakan Yes I Do yang aktif mencegah dan menurunkan angka perkawinan anak, mengatakan bahwa kasus perkawinan anak memang cenderung menurun. Tapi alasannya malah semakin bikin pusing kepala.

Ia menggambarkan kasus perkawinan anak yang kerap terjadi di Desa Woro, Kragan, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.

Baca Juga: Jadwal Pertandingan 16 Besar Piala Dunia 2018, Minggu 1 Juli

Pada 2014 lalu, ada 14 kasus perkawinan anak. Angka tersebut menurun menjadi sepuluh perkawinan anak pada 2015, 7 kasus pada 2016, dan 5 kasus pada 2017.

"2018 sampai kemarin saya ke sana, belum ada (perkawinan anak). Ini biasanya karena kehamilan. Sudah sedikit sekali kasus (perkawinan anak) karena dipaksa orangtua dan alasan ekonomi," kata Budi kepada Suara.com baru-baru ini.

Ada banyak faktor yang mendorong terjadinya perkawinan anak di lingkungan masyarakat. Di antaranya adalah kemiskinan, ketidaksetaraan gender, nilai budaya dan agama, perilaku berisiko, pendidikan seksual yang tidak memadai, serta kehamilan yang tidak diinginkan.

Di Indonesia, perkawinan anak dengan dalih memutus rantai kemiskinan keluarga dan ketidaksetaraan gender kerap dijadikan alasan utama perkawinan anak.

Tapi sekarang, Budi mengakui bahwa tren menikah muda, yang pada akhirnya menjurus pada perkawinan anak, telah benar-benar memengaruhi pola pikir remaja tingkat awal.

Baca Juga: Yamaha Motor Siapkan Kejutan di GIIAS 2018, Apa Itu?

"Sekarang sedang tren inisiatif (menikah muda) datang dari anak-anak itu sendiri apalagi setelah ada gerakan menikah muda," tambahnya.

Untuk itu, Budi mengimbau agar orangtua, lingkungan, dan sekolah perlu memahami pentingnya pendidikan seksual serta memberi kegiatan yang mampu mewadahi kreatifitas anak-anak. Dengan begitu, diharapkan anak akan disibukkan dengan kegiatan bermanfaat dan memiliki pola pikir serta perilaku yang lebih visioner.

Dampak Perkawinan Anak terhadap Ekonomi Dunia
Menurut data UNICEF, ada 41 ribu anak di dunia yang dipaksa menikah pada usia sangat belia. Bahkan, jika tidak diantisipasi, akan ada 150 juta anak perempuan yang menjadi pengantin anak pada usia 2030 mendatang.

Lewat data State of The World's Children UNICEF tahun 2016 juga diketahui bahwa Indonesia menduduki peringkat ketujuh dalam kasus perkawinan anak di dunia.

Sementara, menurut data Badan Pusat Statistik pada 2016, ada sekitar 375 kasus perkawinan anak setiap hari di Indonesia.

"Bank Dunia mengestimasi bahwa kasus perkawinan anak sampai 2030 akan memiliki kerugian ekonomi hingga 4 Triliun USD. Di Indonesia sendiri, ancaman ekonomi sampai 1 persen PDB pertahun," kata Chief Executive Officer Plan International, Anne-Birgitte Albrectsen.

Budi Kurniawan secara lantang menyinggung mengenai korelasi perkawinan anak dengan bonus demografi yang akan dialami Indonesia pada 2030 mendatang.

Kata Budi, bonus demografi hanya akan menjadi dilema jika anak-anak yang lahir datang dari generasi yang lemah. "Ada istilah kemajuan yang tertunda. Mereka lahir dari keluarga kurang mampu, menciptakan lingkaran setan kemiskinan, dan menambah masalah," kata Budi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI