Suara.com - Berita soal terorisme sedang marak seminggu ini, dan yang lebih mengenaskan, isu terorisme kali ini 'mengajak' anak sebagai pelaku. Tak ada yang lebih menyedihkan selain melihat anak-anak polos tanpa dosa menjadi korban doktrin radikalisme orang dewasa.
Tak ada yang tahu apa yang ada di dalam kepala para peneror tersebut hingga mereka tega menyakiti sesama. Diduga, pemicunya adalah perbedaan. Dan jika memang benar pemicunya adalah perbedaan, maka ada baiknya kita sebagai orangtua mulai bekerja keras memperkenalkan pada anak-anak kita soal perbedaan.
Menurut praktisi pendidikan, Najeela Shihab, paham radikalisme yang dianut para pelaku sangat bersinggungan dengan dua unsur utama, yaitu kemanusiaan dan agama.
"Dari kemanusiaan secara umum, mereka biasanya tidak punya empati, tidak punya sikap menghormati pilihan orang lain. Itu tidak dibiasakan dari kecil. Sisi kedua dari agama, ada pemahaman agama yang tidak tepat," katanya saat dihubungi Suara.com lewat sambungan telepon, Senin (14/5/2018).
Baca Juga: Presiden Minta Dana Desa Tak Mengalir ke Kota
Untuk itu, penting bagi orangtua untuk menumbuhkan nilai-nilai empati pada anak dan membiasakan anak untuk menghargai perbedaan.
"Kita sering kali hanya menasihati, tapi tidak mencontohkan bagaimana bersosialisasi dengan tetangga bahwa kita (hidup) dari bermacam golongan, sebagian dari kita kebanyakan sangat homogen," kata Nejeela.
Ditambah lagi dengan kecenderungan keluarga enggan membahas perbedaan di dalam rumah. Najeela menduga banyak orangtua menganggap bahwa membicarakan perbedaan merupakan cara untuk memicu konflik. "Padahal, anak memiliki banyak pertanyaan, tapi karena tidak ada jalur komunikasi, makanya dia jadi kesulitan," tambahnya.
Untuk itu, Najeela menilai tragedi teror yang saat ini menguat merupakan momentum pembelajaran anti radikalisme pada anak yang dapat dimulai dari rumah.
"Saya paham ini momentum, tapi pendidikan untuk tidak (menjadi) radikal itu proses yang panjang. Itu dicontohkan dari pengalaman sehari-hari yang bersifat tahunan, karena orang juga tidak mendadak jadi radikal," tutupnya.
Baca Juga: Dua Hal yang Jadi Perdebatan di Revisi UU Terorisme