Sekolah Apa yang Cocok untuk Anak Berkebutuhan Khusus?

Sabtu, 28 April 2018 | 06:36 WIB
Sekolah Apa yang Cocok untuk Anak Berkebutuhan Khusus?
Taha, anak berkebutuhan khusus. (Suara.com/Risna Halidi)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Anak berkebutuhan khusus atau ABK kerap menjadi korban dalam penyelenggaraan pendidikan formal, di mana masih ada sekolah kerap menolak keberadaan ABK karena dianggap memiliki hambatan secara fisik, psikologis, kognitif, dan sosial dalam proses belajar mengajar.

Hal itu pula yang sempat dirasakan Lucia Maria, perempuan dari Bintaro sekaligus ibu dari Gregorius Andhika Meidianto.

Grogorius atau yang akrab disapa Taha, terlahir dengan kondisi sindrom asperger. Sindrom asperger merupakan salah satu gejala autisme di mana penderitanya memiliki kesulitan dalam berkomunikasi dengan lingkungannya, sehingga kerap kali mengalami penolakan.

Sekolah untuk anak berkebutuhan khusus. (Suara.com/Risna Halidi)

Baca Juga: Atasi Banjir Rancaekek, Kementerian PUPR Normalisasi Sungai

"Dokter awalnya anggap ini hanya masalah lambat bicara. Ternyata autisme ringan dan hiperaktif," kata Lucia saat bercerita kepada Suara.com beberapa waktu lalu.

Pada awalnya, Lucia merasa cukup sedih dan cemas atas kondisi buah hatinya. Apalagi ketika Taha memasuki usia sekolah, ia nampak kesulitan mengenal konsep baca-tulis-hitung seperti anak kebanyakan.

Lucia lalu mendaftarkan Taha ke salah satu sekolah inklusi di Bintaro. Sayangnya, pihak sekolah menutup kelas inklusi saat Taha duduk di bangku kelas lima. "Pihak sekolah tidak mengadakan kelas 5 karena hanya ada dua ABK dari sebelumnya 8 anak. Mereka keluar satu persatu."

Padahal sesuai Pasal 1 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 70 tahun 2009, pendidikan inklusi dibuat untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan dalam satu lingkung pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.

Dengan peristiwa itu, praktis Lucia harus kembali mencari sekolah untuk anaknya yang berkebutuhan khusus. Ia mengaku harus merasakan belasan kali penolakan dari sekolah dasar yang ia coba 'dekati'.

Baca Juga: Kalahkan Timnas Indonesia, Pelatih Bahrain Puji Febri Hariyadi

Ketika ada yang satu sekolah yang bersedia, Lucia malah memilih mundur. "Hanya satu sekolah yang menerima. SD di daerah Karang Tengah, Ciledug. Tapi karena saya takut dan khawatir banyak kasus anak ABK di-bully, saya berpikir mungkin Taha percuma di sekolah umum," kata Lucia.

Menurut seorang psikolog klinis, sekaligus pendiri Sekolah Khusus Spectrum, Dra. Psi. Tisna Chandra, apa yang dialami oleh keluarga Lucia sudah sangat sering terjadi.

"Beberapa sekolah inklusi memutuskan diri untuk menghentikan dan menolak (ABK) karena dianggap tak memiliki guru yang memiliki kapabilitas untuk mendidik (ABK). Materi di kelas jadi terhambat dan anak-anak merasa terganggu dan yang terjadi adalah anak-anak ini tersisihkan," kata Tisna.

Ia mengatakan, sekolah umum harusnya tak merasa takut untuk menerima siswa ABK. Sebaliknya, mereka harusnya membangun departemen khusus yang dapat membantu anak-anak ABK di sekolah. "Tarik para psikolog, para terapis, mudah-mudahan anak-anak ABK ini bisa mengejar ketertinggalan," kata Tisna.

Dengan begitu, tambah Tisna, pihak sekolah terutama para guru tidak akan kewalahan mendidik siswa-siswi ABK karena dibantu oleh profesional yang memiliki kapabilitas mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI