Suara.com - Masalah sunat pada perempuan memang menjadi pro kontra di Indonesia.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sendiri pada 2013 telah mencabut Peraturan Menteri Kesehatan tahun 2010 yang mengatur tentang praktik sunat perempuan.
Pencabutan itu dikarenakan banyaknya pihak yang berpikir bahwa sunat perempuan yang dilakukan di Indonesia sama dengan di Afrika.
Di Afrika, sunat perempuan dilakukan dengan cara mutilasi sedangkan di Indonesia sunat perempuan dilakukan dengan cara mengores kulit yang menutupi bagian depan klitors dengan menggunakan jarum steril tanpa melukainya.
Baca Juga: Azyumardi Azra Kritik Ceramah Politik Amien Rais di Balai Kota
Pasca pencabutan peraturan tersebut, kemenkes melakukan edukasi dan sosialisasi kepada tenaga medis bahwa sunat perempuan tidak ada manfaatnya.
Namun apabila ada tenaga medis yang tetap melakukan sunat perempuan, Ali Ghufron Mukti saat menjabat sebagai wakil menteri kesehatan pada 2014 pernah mengatakan tidak ada sanksi yang akan diberikan karena tidak ada aturannya.
“Di Indonesia itu sering disalahkan artikan dan disalah persepsikan, dianggap itu sebuah mutilasi padahal yang terjadi tidak seperti itu. Jadi oleh karena itu kita putuskan untuk dicabut pada 2013," terangnya.
Berbicara soal sunat perempuan, secara teknis, Badan Kesehatan Dunia (WHO) membagi sunat perempuan ke dalam empat jenis.
Pertama, klitoridektomi, yakni memotong sebagian atau seluruh klitoris, bagian sensitif pada alat kelamin perempuan berupa daging atau gumpal jaringan kecil pada ujung atas lubang vagina.
Baca Juga: Lagi-lagi Bunga Citra Lestari Pakai Kebaya, Duh Bikin Pangling
Kedua, eksisi, yakni memotong sebagian atau seluruh bagian klitoris dan labia minora (bibir vagina bagian dalam), dengan maupun tanpa turut memotong labia majora (bibir vagina bagian luar).