Suara.com - Jantung Ibu Budi (58 tahun) -- bukan nama sebenarnya, serasa berhenti berdetak ketika dokter menyatakan bahwa dirinya mengalami kanker serviks stadium IB.
Bingung, sedih, tidak percaya, dan marah, bergejolak dalam dirinya. Apalagi dalam keluarganya tidak ada keturunan kanker. Inilah yang membuatnya semakin bingung apa yang membuatnya bisa mengidap kanker serviks.
Apa yang dirasakan Ibu Budi adalah reaksi yang umum saat perempuan didiagnosis kanker serviks. Meski demikian ia terbilang beruntung, karena kankernya terdeteksi di stadium yang masih terbilang awal dan belum ada penyebaran (metastasis).
“Umumnya pasien datang pada stadium lanjut, karena di stadium awal tidak ada gejala,” ujar dr. Andi Darma Putra, Sp.OG(K) dari RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam sebuah diskusi ilmiah di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Bertemu Doraemon dan Teman-Temannya di T-shirt UT
HPV (Human Papilloma Virus), virus penyebab kanker serviks, menimbulkan beban kesehatan di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Kanker serviks menduduki peringkat dua kanker terbanyak pada perempuan di Indonesia.
Berdasarkan INASGO National Cervical Cancer Registry (2012-2016), insiden tertinggi kanker serviks terjadi pada kelompok usia dewasa muda (usia 35-55 tahun), dengan total 5.216 perempuan dari 2012-2016. Diikuti kelompok usia dewasa tua (55-64 tahun), dengan total 1.561 perempuan.
Dokter Andi mengatakan ada sekitar 200 tipe HPV, tapi tidak semuanya bisa menyebabkan kanker (tipe onkogenik/risiko tinggi). Sebagian lagi tipe non onkogenik (risiko rendah), tapi bisa menyebabkan kutil kelamin.
Bukan berarti “aman” bila mengalami infeksi HPV yang tipe non onkogenik. “Sering juga terjadi infeksi campuran. Saya pernah menemukan sampai tujuh tipe HPV, gabungan onkogenik dan non onkogenik,” tuturnya.
Penyakit yang bisa ditimbulkan oleh infeksi HPV bukan hanya kanker serviks. Melainkan juga kanker vagina (60-90 persen), vulva (40 persen), orofaring (12-70 persen), bahkan juga kanker anal (lebih dari 80 persen) dan kanker penis (45 persen) pada laki-laki, dan kutil kelamin (100 persen).
Baca Juga: Restoran Ini Menawarkan Menu Mi Sepanjang Empat Meter
Dipercaya bahwa kanker serviks dimulai dari permukaan serviks, dan seiring waktu berjalan makin ke lapisan dalam. “Kalau infeksi menembus sel basal, terjadilah karsinoma invasif,” terang dr. Andi.
Lesi Pra Kanker Serviks stadium awal (CIN 1) bisa kembali normal dengan sendirinya; kemungkinannya 70 persen. Namun 30 persen sisanya bisa berlanjut menjadi lesi kanker stadium tinggi (CIN3).
Bila sudah CIN3, lebih kecil kemungkinannya untuk kembali normal dan risikonya besar untuk berkembang menjadi kanker serviks.
Untuk terjadinya perubahan sel-sel serviks normal menjadi kanker, lanjut dr. Andi, butuh waktu paling cepat enam bulan hingga dua tahun. Bahkan bisa sampai 15-20 tahun.
“Karena itu, jangan heran bila perempuan yang sudah menjanda 10 tahun bisa kena,” ujarnya. Dokter Andi menyayangkan, kadang dokter ‘kecolongan’ bila kanker serviks muncul di usia menopause.
“Kadang dianggap bahwa itu penghabisan haid. Namun sampai dua tahun terus berlanjut. Ternyata begitu ditemukan, kanker sudah stadium lanjut,” imbuhnya.
Di sisi lain, ada kesempatan selama 15-20 tahun untuk melakukan skrining atau deteksi dini. Berdasarkan literatur, skrining perlu dilakukan 3-5 tahun.
“Namun di Indonesia kita sarankan setahun sekali,” terang dr. Andi.
Peranan Vaksinasi
Kenneth alexander, MD, Ph.D. dari Nemours Children’s Hospital, Florida, Amerika Serikat (AS) menyoroti besarnya peran vaksinasi dalam mencegah berbagai penyakit yang disebabkan oleh infeksi HPV.
Ia mengapresiasi program vaksinasi HPV di sekolah yang sudah mulai dijalankan di Indonesia, yang dimulai dengan proyek percontohan di Jakarta tahun lalu.
Menurutnya, AS kurang bekerja dengan baik terkait vaksinasi HPV. Di sana, vaksinasi HPV dilakukan di klinik, sedangkan tidak semua orangtua sadar untuk membawa anaknya ke klinik untuk mendapat vaksinasi.
“Sedangkan di sekolah, kita bisa menjangkau semua anak, dari berbagai latar belakang. Cakupan vaksinasi di sekolah jauh lebih tinggi dibandingkan dengan vaksinasi berbasis klinik,” tuturnya.
Salah satu tantangan dalam vaksinasi HPV yakni, dampaknya baru terasa sekitar 20 tahun kemudian, mengingat perjalan penyakit kanker serviks membutuhkan waktu yang lama. “Ini adalah sukses jangka panjang,” tegasnya.
Namun, keberhasilan dalam jangka pendek bisa terlihat dari vaksin HPV kuadrivalen dalam mencegah kulit kelamin. Vaksin kuadrivalen memberi perlindungan terhadap empat tipe HPV; tidak hanya tipe onkogenik (16, 18) tapi juga tipe non onkogenik yang paling sering menyebabkan kutil kelamin (6, 11).
Ini terlihat jelas pada Australia, yang memulai program vaksinasi HPV nasional dengan vaksin kuadrivalen pada 2007. “Setelah lima tahun, prevalensi kutil kelamin turun 80 persen,” ucap Prof. Kenneth.
Pada 2007, persentasenya pada perempuan usia di bawah 21 tahun hampir 12 persen, dan turun hingga kurang dari 2 persen pada 2011. Demikian pula pada kelompok usia 21 (30 persen); dari sekitar 12 persen pada 2007 menjadi kurang dari 4 persen pada 2011. Pada perempuan yang tidak divaksin, tidak ada penurunan.
Yang menarik, prevalensi kutil kelamin pada laki-laki juga ikut turun, padahal laki-laki tidak divaksin. “Jadi kita melindungi anak perempuan, tapi anak laki-laki pun ikut terlindungi. Tercipta herd immunity. Bisa kita simpulkan efikasi vaksin sangat tinggi,” tegasnya.
Drolet M, dkk (Lancet Infectious Disease, 2015) meneliti efikasi vaksin HPV terhadap penyakit terkait HPV (infeksi, kutil kelamin, CIN2+) berdasarkan data retrospektif antara 1 Januari 2007-28 Februari 2014. Dilakukan perbandingan insiden atau prevalensi infeksi HPV dan penyakit terkait HPV sebelum dan setelah implementasi program vaksinasi HPV nasional.
Laporan ini mewakili lebih dari 140 juta orang dengan follow up beberapa tahun. “Terjadi penurunan bermakna dalam infeksi HPV, bahkan di negara yang cakupan vaksinasinya rendah (cakupan kurang dari 50 persen),” jelasnya.
Makin tinggi cakupan imunisasi, makin baik proteksinya.
Adapun studi meta-analisis oleh Garland SM, dkk (Clinical Infectious Disease, 2016) menilai dampak dan efektivitas dari vaksin HPV kuadrivalen selama 10 tahun di 9 negara (Australia, Belgia, Kanada, Denmark, Perancis, Jerman, Selandia Baru, Swedia, AS), berdasarkan 58 publikasi.
Hasilnya konsisten: terjadi penurunan bermakna antara lain pada prevalensi infeksi HPV tipe 6, 11, 16 dan 18 pada serviks dan vagina; kutil kelamin; CIN2; dan CIN3.
Tampak penurunan besar di semua negara.
“Penurunan prevalensi yang paling besar terlihat pada usia yang lebih muda. Makin muda usia divaksin, makin besar manfaatnya,” papar Prof. Kenneth.
Vaksinasi di Usia Muda dan Dewasa
Vaksin HPV diindikasikan untuk perempuan usia 9-45 tahun. Laki-laki pun boleh mendapat vaksin ini. Vaksin diberikan dalam tiga dosis, dengan jadwal 0-2-6 bulan.
“Untuk usia di bawah 14 tahun, cukup dua dosis dengan interval antar dosis enam sampai 12 bulan,” terang dr. Andi.
Karenanya, sangat menguntungkan bila vaksinasi dilakukan pada usia anak. Selain biayanya lebih murah, antibodi yang terbentuk lebih baik, dan bisa melindungi sang anak sebelum ia aktif berhubungan seksual.
Tak bisa dipungkiri, masih ada penolakan terhadap vaksin ini, dengan berbagai alasan. Dari segi agama seharusnya tak perlu khawatir karena vaksin ini sudah dinyatakan halal oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia).
Ada pula yang menolak karena merasa bahwa anak gadis mereka masih jauh dari hubungan seksual. Prof. Kenneth mengutarakan beberapa alasan pentingnya vaksin HPV diberikan pada anak remaja.
“Kita tidak membicarakan soal hubungan seksual. Yang terpenting, vaksin adalah tindakan preventif,” tegasnya.
Vaksin HPV sama dengan vaksin lain yang perlu diberikan pada remaja. Menunda vaksinasi bisa menghilangkan kesempatan melindungi anak kita dari penyakit mematikan yang sebenanrya bisa dicegah. Dan tentunya, “Dua dosis lebih mudah daripada tiga dosis.”
Ia menambahkan, vaksin HPV bukanlah untuk “perempuan nakal;” atau orang yang tidak bermoral. Vaksin ini adalah untuk semua orang; baik remaja, dewasa, perempuan maupun laki-laki.
Stigma bahwa penyakit terkait HPV adalah penyakit menular seksual, perlu dihilangkan. Semua orang bisa mengalaminya, meski pada pasangan monogami yang saling setia. Bahkan pernah ditemukan infeksi HPV pada perempuan yang belum pernah berhubungan seksual.
Virus HPV sama umumnya dengan bakteri Streptococcus atau Staphylococcus yang menyebabkan infeksi saluran napas, dengan kata lain, HPV sangat mungkin menginfeksi semua orang. Dalam masa hidupnya, 8 dari 10 orang laki-laki dan perempuan akan terinfeksi HPV.
Tidak pernah ada kata terlambat untuk vaksinasi HPV. Perempuan yang sudah aktif secara seksual dan mendapati hasil pap smear yang abnormal, tetap bisa mendapat vaksin.
“Bila seorang perempuan memiliki hasil pap smear yang abnormal, mungkin ia hanya terkena satu tipe HPV. Kita masih bisa melindunginya dari HPV tipe lain,” papar Prof. Kenneth.
Pap smear justru bisa menjadi jalan untuk mendorongnya melakukan vaksinasi.Bahkan sekalipun sudah menjalani tes HPV-DNA dan mendapati bahwa ada infeksi HPV di luar tipe yang ada dalam vaksin, vaksinasi masih bisa dilakukan.
Vaksin HPV saat ini mengalami kemajuan yang pesat, dan saat ini, di luar negeri sudah ada vaksin yang mencakup 9 tipe HPV.
Prof Kenneth melanjutkan, sekitar 8.500 perempuan meninggal akibat kanker yang disebabkan oleh HPV. “Ini setara dengan satu kecelakan Boeing 747 tiap tiga minggu,” tandasnya.
Sehingga infeksi HPV ini tidak dapat dianggap remeh. Yang pasti, risiko terkena infeksi HPV selalu ada.