Suara.com - Angka kematian ibu di Indonesia pada 2016 mencapai 306 per 100 ribu kelahiran hidup. Angka ini dinilai masih cukup tinggi mengingat target MDG's atau Millennium Development Goals adalah 102 per 100 ribu kelahiran hidup.
Menurut dr. Nurlely Bethesda Sinaga, MPH selaku Praktisi Kesehatan Masyarakat, angka kematian ibu harus ditekan karena besarnya kerugian yang harus ditanggung. Menggunakan penelitian di China, perempuan yang akrab disapa Beth ini menjelaskan bahwa jika seorang ibu meninggal saat hamil atau pada saat proses persalinan, maka kerugian langsung yang harus ditanggung adalah 4119 dollar Amerika atau sekitar Rp 55 juta.
"Sementara kalau meninggalnya saat tua itu kerugian langsungnya hanya 370 dollar Amerika atau sekitar Rp 5 juta," ujar dr. Beth pada Master Class HNJA di Jakarta, Selasa (30/1/2018).
Besaran kerugian ekonomi ini, kata Beth dihitung akibat hilangnya produktivitas ibu yang meninggal saat melahirkan sebesar 154 hari kerja selama setahun. Sementara jika meninggal bukan saat hamil, maka hanya dihitung 15 hari kerja yang terbuang.
Baca Juga: Organda: Aturan Batas Tarif Atas Bawah Lindungi Konsumen
"Kalau satu hari kerja berdasarkan UMR di Jakarta dihitung Rp 150 ribu maka kalikan saja dengan 154 hari. Lalu kalikan dengan sisa usia menurut angka harapan hidupnya. Jadi kalau meninggal usia 30 tahun dan rata-rata harapan hidup perempuan Indonesia 72 tahun berarti Rp 150 ribu kali 154 hari kali 42 tahun. Itulah kerugian kalau seorang perempuan meninggal saat hamil atau bersalin" tambah dia.
Ia menjelaskan, penyebab kematian ibu di Indonesia disebabkan oleh berbagai hal. Pertama, akibat pendarahan paska persalinan karena anemia. Kondisi anemia sendiri kata dia bisa dipicu oleh kurang gizi saat hamil, malaria dan cacingan. "Penyebab lain angka kematian tinggi adalah hipertensi saat hamil dan infeksi virus atau bakteri," tandasnya.