5 Kasus Kesehatan Menghebohkan Publik Sepanjang 2017 di Indonesia

Sabtu, 23 Desember 2017 | 10:29 WIB
5 Kasus Kesehatan Menghebohkan Publik Sepanjang 2017 di Indonesia
Ryan Thamrin [Instagram/@drryanthamrin_asli]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sepanjang 2017, Indonesia masih didera berbagai masalah kesehatan mulai dari meninggalnya dokter seleb hingga kembali mewabahnya difteri di Indonesia. Suara.com merangkum lima kasus kesehatan terhangat yang sempat menyita perhatian publik sepanjang 2017.

1. Kematian Dr Ryan Thamrin

Dr Ryan Thamrin, dokter ganteng yang lebih dikenal sebagai Dr OZ Indonesia, meninggal dunia karena penyakit maag akut, dan benjolan di kepala pada Jumat (4/8/2017) pukul 03.30 dini hari. Tentu saja kabar ini menghebohkan publik di Indonesia mengingat profesi beliau yang merupakan seorang dokter.

Beredar pula foto sebelum almarhum meninggal dunia, tubuhnya tampak kurus kering di berbagai akun gosip. Tubuh dokter bernama lengkap Hesta Meiriansyah bin Husni Thamrin itu tampak sangat kurus hingga membuat wajahnya terlihat berbeda. Tampak di sebelah mantan Abang Jakarta tahun 2003 itu sang bunda yang memegang dada putranya.

Baca Juga: Deretan Masalah Kesehatan Parah Akibat Gangguan Makan

2. Kisruh Halal Haram Vaksin MR

Pemberian vaksin MR (Measles Rubella (MR) kembali menjadi sorotan di masyarakat, setelah beredar berbagai isu yang menyebutkan vaksin MR belum mendapat sertifikasi halal.

Ilustrasi vaksin. [Shutterstock]

Tentu saja hal ini menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat Indonesia yang sebagian besar beragama Islam. Kementerian Kesehatan menegaskan bahwa sertifikasi halal untuk vaksin MR sedang dan sudah melalui proses pengesahan sertifikasi halal.

3. Kematian Bayi Debora

Baca Juga: Peringati HKN Ke-53 Menkes Ungkap Masalah Kesehatan di Indonesia

Seorang bayi berusia empat bulan bernama Tiara Debora Simanjorang meninggal dunia karena ‎terlambat mendapatkan perawatan yang memadai di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, Minggu (3/9/2017) karena masalah biaya. RS Mitra Keluarga meminta keluarga pasien untuk menyiapkan biaya pengobatan terlebih dahulu. Sementara itu, pihak rumah sakit mengaku telah memberikan penanganan yang dibutuhkan Debora.

Orangtua Bayi Debora didampingi Komisioner Bidang Hak Sipil dan Patrisipasi Anak KPAI, Jasra Putra di Kantor KPAI, Jakarta Pusat, Senin (11/9/2017). (Suara.com/Risna)

Untuk menjalani perawatan lanjutan di ruang khusus Pediatric Intensive Care Unit, atau PICU RS Mitra Keluarga mematok biaya mencapai Rp19,8 juta, sedangkan orangtua Debora hanya punya Rp5 juta. Saat sedang mencari rumah sakit rujukan, tiba-tiba kondisi Debora melemah. Bayi tersebut akhirnya meninggal dan dimakamkan di TPU Tegal Alur.

4. Penyalahgunaan Pil 'zombie' PCC di Kendari

Pada September lalu masyarakat dihebohkan dengan penyalahgunaan obat bertuliskan PCC yang beredar di Kendari, Sulawesi Tenggara hingga menyebabkan satu orang meninggal dunia dan 42 orang lainnya harus dirawat di beberapa Rumah Sakit di Kendari.

Hasil uji laboratorium terhadap tablet PCC menunjukkan positif mengandung Karisoprodol. Karisoprodol sendiri digolongkan sebagai obat keras itu sebabnya seluruh obat yang mengandung Karisoprodol telah dibatalkan izin edarnya pada tahun 2013.

Obat PCC yang populer disebut 'Pil Zombie'. (Foto: Istimewa)

Obat yang mengandung zat aktif Karisoprodol ini memiliki efek farmakologis sebagai relaksan otot namun hanya berlangsung singkat, dan di dalam tubuh akan segera dimetabolisme menjadi metabolit berupa senyawa Meprobamat yang menimbulkan efek menenangkan.

5. Difteri Kembali Mewabah

Data yang dihimpun Kementerian Kesehatan pada Januari-November 2017 melaporkan adanya 593 kasus difteri pada 95 kabupaten/kota dalam 20 provinsi. Dari keseluruhan jumlah tersebut sebanyak 32 kasus berujung kematian.

Menurut Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI Mohammad Subuh, mewabahnya difteri di Indonesia tak lepas dari penolakan masyarakat untuk diimunisasi. Data yang dihimpunnya menunjukkan bahwa 66 persen kasus difteri karena anak tidak diimunisasi, 31 persen karena imunisasi tidak lengkap, dan tiga persen sudah diimunisasi lengkap.

Vaksin yang mengandung komponen difteri sebelum didistribusikan, di Bandung, Jawa Barat, Senin (18/12).

Untuk mencegah perluasan difteri, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan melakukan outbreak response immunization (ORI) yakni imunisasi tahap awal yang digelar serentak di 12 kabupaten/kota. mengatakan bahwa imunisasi serentak ini akan menyasar balita berusia satu tahun hingga remaja berusia 19 tahun dengan tiga kali penyuntikan dalam periode berbeda.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI