Berkaca pada Kasus Jong-hyun, Depresi Selalu Memakan Korban

Selasa, 19 Desember 2017 | 05:31 WIB
Berkaca pada Kasus Jong-hyun, Depresi Selalu Memakan Korban
Jonghyun. [SM Entertainment/AllKpop]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Depresi telah banyak menelan korban. Salah satunya adalah dugaan kasus bunuh diri yang baru saja terjadi pada personel boyband ternama Korea Selatan--Shinee, Jong-hyun.

Ia ditemukan tak bernyawa di apartemennya di Seoul, pada Senin petang (18/12) waktu Korea Selatan. Dilansir dari beberapa media, Jong-hyun sempat menulis pesan kepada kakaknya bahwa dirinya tengah berada dalam 'masa-masa sulit'.

Meski tidak diketahui pasti alasan di balik tindakan Jong-hyun, namun bunuh diri biasanya dilatar belakangi oleh depresi dan perasaan bahwa tak ada sosok untuk bisa berbagi masalah.

Menurut sebuah survei, masalah depresi dan kesehatan mental tetap menjadi hal yang tabu untuk dibahas terutama dengan rekan kerja.

Jajak pendapat yang dilakukan pada 2.025 pekerja di Inggris oleh badan amal Time to Change, mendapati hasil bahwa pekerja di sana lebih suka berbincang mengenai seks atau uang daripada masalah kesehatan mental.

Ketika diminta untuk memilih daftar masalah apa yang bisa mereka bicarakan secara terbuka dengan rekan kerja, 36 persen mengatakan bahwa mereka akan membicarakan masalah kesehatan fisik, 26 persen tentang masalah uang dan 18 persen tentang seks. Sementara hanya 13 persen yang memilih membicarakan masalah kesehatan mental.

Meski begitu, 58 persen dari responden mengatakan bahwa mereka akan mendorong rekan kerjanya untuk membuka diri jika melihat seseorang tengah berjuang dengan kesehatan mental, dan 16 persen di antaranya, mengatakan akan melaporkan masalah tersebut kepada atasan.

Seperti Natalie Hall, perempuan berusia 36 tahun asal Inggris, mengaku merasa ketakutan akan kehilangan pekerjaan serta tidak dipercaya orang-orang jika bercerita secara terbuka tentang gangguan depresi dan kegelisahan yang ia rasakan kepada rekan kerjanya.

Bagi Natalie yang bekerja sebagai seorang analis intelijen untuk Kepolisian Northumbria, mengaku malu bila harus mengakui bahwa dirinya mengalami depresi.

"Saya benar-benar khawatir jika saya mengatakan, 'Saya mengalami depresi dan kecemasan,' itu akan mempengaruhi karir dan prospek pekerjaan saya untuk masa depan. Dan, Anda tahu, apakah saya akan kehilangan pekerjaan? Apakah saya dianggap tidak mampu? Bahwa penilaian yang saya buat tidak rasional lagi, bahwa pekerjaan saya tidak dipercaya dan saya akan dikesampingkan untuk sesuatu?" terangnya dilansir BBC.

Karena keputusan bungkamnya tersebut, kesehatan mental Natalie semakin memburuk hingga dirinya diminta mencari bantuan medis dari dokter dan dinyatakan 'sakit'.

Meski sudah kembali ke kantor berkat pertolongan ahli dan dukungan dari atasan, Natalie mengatakan bahwa rekan kerjanya tidak tahu harus berkata apa ketika melihat Natalie.

"Jangan salah sangka, saya memang punya dukungan dan ada beberapa rekan kerja yang mendukung, tapi tidak ada yang tahu harus berkata apa dan bagaimana membantu. Pada saat itu saya belum memberi tahu siapa pun karena saya masih terlalu malu untuk mengatakannya, saya merasakan kegagalan besar dan saya baru saja mundur, saya tidak lagi benar-benar ceria dan di kantor, saya menundukkan kepala. Bersembunyi di balik layar komputer untuk bertahan pada hari kerja."

Kata Natalie, perhatian kecil seperti membuatkan teh atau berjalan bersama di kantor, merupakan gestur memberi perhatian yang bisa menolong seseorang yang menderita masalah kesehatan mental agar tidak merasa sendirian.

"Ini hal yang sederhana.'Saya akan membuatkan Anda secangkir teh', 'Bisakah kita pergi dan berjalan sedikit?' Haruskah kita keluar dari kantor dan pergi minum kopi? dan ini tentang seseorang yang memberikan sedikit waktu mereka, tanpa mengatakan, 'Saya bisa membuatnya lebih baik,' tapi hanya berada di sana dan itulah yang membuat perbedaan," tutup Natalie.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI